Mahkamah Konstitusi Memutus Parliamentary Threshold 4% Konstitusional Bersyarat: Menyederhanakan Partai Atau Menyelamatkan Suara Rakyat?

Threshlod berasal dari bahasa inggris, yang jika di artikan ke dalam bahasa Indonesia adalah ambang batas. Sedang di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), ambang batas diartikan sebagai, “tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi”. Threshold atau yang yang sering dikenal sebagai ambang batas diadopsi dalam sistem pemilu untuk menkonversi suara dan kursi dalam sistem pemilu proposional atau keterwakilan berimbang. Istilah Threshold juga disitilahkan dengan minimum barrier (batas minimum). Istilah ini sering digunakan untuk mengatur ambang batas parlemen parliamentary threshold dan ambang batas presiden untuk ikuti pemilu (presidential threshold).

Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR-RI di senayan. Sederhananya, ambang batas ini berperan untuk membatasi jumlah partai politik yang akan masuk di dalam parlemen.

Mengenai ambang batas parlemen ini, tentu banyak terjadi pembahasan dikalangan akademisi dan politisi. Permasalahan mengenai ambang batas parlemen bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, baru-baru ini telah menerima permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 (Judicial Riview). Permohonan tersebut diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) pada tanggal 28 Agustus 2023. Adapun pasal yang menjadi objek permohonan adalah Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang ketentuan ambang batas parlemen.

Pemohon mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional”. Selengkapnya, Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”. Pemohon menyebut hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional. Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Pada hari kamis 29 Februari 2024, Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo membacakan amar putusan yang berbunyi “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum  adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan”.

Dengan putusan demikian, terkait dengan penentuan atau desain ambang batas parlemen yang baru dikembalikan kepada lembaga pembentuk undang-undang. Perlu menjadi catatan, menurut penulis setidaknya ada dua politik hukum yang harus diperhatikan dalam mendesain ulang besaran ambang batas parlemen. Dua politik hukum tersebut adalah penyederhanaan partai politik dan meminimalisir suara rakyat yang terbuang akibat besarnya ambang batas parlemen.

Kita ketahu bersama, bahwa pola besaran parliamentary threshold ternyata berdampak pada jumlah partai politik yang lolos ke parlemen. Contoh pada pemilu tahun 2009 menerapkan parliamentary threshold sebesar 2,5% yang menghasilkan 9 partai dari 38 partai peserta pemilu. Pemilu 2014 menerapkan parliamentary threshold sebesar 3,5% yang menghasilkan 10 partai dari 12 partai peserta pemilu. Pemilu 2019 menerapkan 4% yang menghasilkan 9 partai dari 16 partai peserta pemilu. Pemilu 2024 menerapkan 4% yang menghasilkan 8 partai dari 18 partai peserta pemilu.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan naiknya angka parliamentary threshold maka semakin tercapainya tujuan dari penyederhanaan partai politik guna menguatkan sistem presidensil. Namun di sisi lain, dengan semakin tinggi angka parliamentary threshold maka semakin banyak juga suara rakyat yang tidak dapat di konversi atau terbuang sia-sia karena partai pilihannya tidak mampu melewati ambang batas parlemen.

Permasalahan muncul ketika Mahkamah Konstitusi memutus bahwa parliamentary threshold dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap besaran ambang batas parlemen. Dalam pertimbangan maupun amar putusan, Mahkamah sama sekali tidak memberikan rambu-rambu apakah angka parliamentary threshold harus dinaikan atau diturunkan? Sehingga desain baru ambang batas parlemen tersebut apakah mengarah kepada penyederhanaan partai atau meminimalisir suara rakyat yang terbuang sia-sia?

Oleh sebab itu, penulis mencoba memberikan pandangan masa depan dan tawaran terkait dengan isu parliamentary threshold yang masih belum diselesaikan oleh lembaga pembentuk undang-undang.

Tawaran

  1. Enam partai di parlemen
    Tawaran pemikiran pertama, sebaiknya partai politik yang ada di parlemen hanya 6 partai saja. Hal ini sejalan dengan pendapat salah satu ahli politik yakni Bagir Manan yang menyatakan bahwa jumlah idealnya partai politik dalam parlemen adalah 6 partai politik. Jika melihat saat ini, tentu masing-masing partai politik memiliki ideologi partainya masing-masing. Contohnya PDI-P dengan ideologi marhaenismenya, PKS dengan ideologi Islamnya, Golkar dengan ideologi Pancasilanya, dan lain sebagainya. Bisa kita bayangkan, apabila angka parliamentary threshold diturunkan semakin kecil, tentu akan banyak lahir partai-partai baru dengan ideologi beraneka ragam masuk kedalam parlemen. Hal tersebut akan berakibat tidak efektifnya kinerja dari pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan. Selain itu, orientasi elit politik mendirikan partai adalah untuk mengejar kursi politik saja (ego sektoral) bukan mendukung sistem pemerintahan dalam mengambil suatu kebijakan. Oleh sebab itu, dengan tawaran 6 partai politik di parlemen sudah cukup untuk penyatuan ideologi dan rakyat juga memiliki pilihan partai dengan ideologi yang baik.  
  2. Menghapus fraksi
    Tawaran pemikiran ini, muncul karena ketidakmaksimalan fungsi legislatif. Selain itu, dengan adanya fraksi maka akan terjadi dualisme loyalitas antara ketua partai dan presiden. Indonesia yang menerapkan sistem presidensial ternyata memiliki kendala yakni adanya loyalitas anggota DPR kepada ketua partainya. Sehingga, dalam mengambil sebuah kebijakan presiden sering kali terhalang dengan adanya fraksi-fraksi yang lebih taat kepada ketua partainya. Oleh sebab itu sebaiknya anggota legislatif di parlemen mewakili kepentingan rakyat bukan kepentingan fraksi atau ketua partai politik.
  3. Penguatan sistem presidensil
    Tawaran ketiga adalah menguatkan sistem presidensil. Tujuan dibentuknya parliamentary threshold adalah untuk menyederhanakan partai dalam rangka menguatkan sistem presidensil. Jika jumlah partai politik yang memperoleh kursi di parlemen sedikit, maka sistem presidensialisme menjadi efektif dan stabilitas pemerintahan tetap terjaga. Namun jika jumlah partai yang melewati ambang batas tersebut banyak maka pengambilan kebijakan akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan, sehingga ketika jumlah partai yang melewati ambang batas tersebut banyak maka jelas akan banyak terjadi konflik kepentingan, dan stabilitas pemerintahan menjadi tidak stabil. Oleh karena itu, ambang batas parlemen merupakan salah satu upaya penyederhanaan partai politik, dan diyakini jika hal tersebut dilakukan, sistem presidensil Indonesia akan berfungsi dengan kuat, efektif, dan stabil.

Baca juga:
Apakah Justice Collaborator Bisa Bebas dari Tuntutan Hukum?

Dedi Kurniawan
Dedi Kurniawan

Dedi Kurniawan merupakan mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dedi fokus dan tertarik pada isu-isu hukum pidana dan konstitusi.

Articles: 5