
Menjelang berakhirnya 2023 DPR akan memutuskan dan ketuk palu pengesahan RKUHP sebagai kado kepada rakyat selama 5 tahun mendapatkan amanah dari rakyat. Kado ini merupakan “pil” pahit yang mesti ditelan karena sebagian pasalnya tidak diinginkan oleh rakyat. Selain pengesahan RKUHP mengebiri praktik demokrasi, juga aroma kembali ke orde baru ikut terasa.
Baca juga:
Masih adakah Ketetapan MPR Pasca Reformasi?
Dicantumkannya pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP mencederai sistem demokrasi yang telah dilahirkan melalui reformasi ‘kudeta’ presiden Soeharto pada tahun 1998. Kita ketahui bersama, ciri negara demokrasi seperti kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan pers dan media, persamaan hak bagi semua warga negara, adanya pemilihan umum langsung serta kedaulatan yang ada ditangan rakyat. Meski Prinsip-prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi negara kesatuan republik Indonesia, namun penulis menilai prinsip hanya sebatas kamuflase, seolah hanya ingin menunjukkan kepada dunia jika republik ini bukan negara dengan sistem pemerintahan yang otoriter.
Menurut Miriam Budiardjo, konsep demokrasi lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di yunani kuno dan dipraktikkan dalam kehidupan bernegara antara abad 4 SM-6 M. Konsep demokrasi ini kembali digunakan pada zaman modern sekurangnya ada dua hal penting pada peristiwa yang mendorong timbulnya kembali “demokrasi”. Pada konsepsi demokrasi, di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) sedangkan di dalam konsepsi negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip dari kedua konsepsi tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Nalar diskursus tentang demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan mengarahkan logika berfikir publik tertuju kepada DPR. Sebab, DPR yang pernah mendapat julukan dari penyanyi Iwan Fals pada masa reformasi sebagai wakil rakyat. Namun penulis tidak ingin membahas DPR sebagai wakil rakyat melainkan lembaga negara yang dipilih dengan metode yang sama seperti pemilihan presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Timbul pertanyaan apa perbedaan DPR dengan Presiden? Mengapa Presiden terkesan punya keistimewaan ‘privilege’ sehingga tidak boleh dikritisi? Apakah presiden adalah Tuhan yang tidak punya celah untuk dikritisi, memangnya presiden punya kekuasaan dan kehendak seperti apa?
Tentu menjadi menarik, pada sidang KTT G20 di Bali hasil yang diperoleh dalam KTT ialah Australia tercatat menjadi negara dengan nilai indeks demokrasi paling tinggi, yakni ada di angka 8,90. Sementara itu, Indonesia berada di urutan ke-14 di antara negara G20 dan masuk kelompok demokrasi “cacat” dengan skor indeks demokrasi 6,71.
Meski negara yang masuk kategori demokrasi “cacat” umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar. Namun, negara dalam kelompok ”cacat” ini masih memiliki masalah fundamental, seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai kebijakan pembatasan aktivitas publik yang dicanangkan pemerintah menjelang perhelatan KTT G20 beberapa pekan sebelumnya merupakan kegagalan dalam mewujudkan demokrasi. Hal itu disampaikan Public Virtue Research Institute pada Senin, 14 November 2022. Tak hanya membatasi dan membatalkan beberapa aktivitas masyarakat sipil, juga mereka diduga mendapatkan perlakuan intimidasi dari pihak yang mengaku sebagai intel terhadap manager hotel tempat para aktivis menginap. Mereka menyebut berbagai bentuk pembatasan aktivitas seperti, pengusiran tim pesepeda Greenpeace, ancaman rektor untuk membubarkan diskusi universitasnya sendiri, dan pembubaran paksa acara internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang disertai upaya penggeledahan gawai.
Indeks kecacatan demokrasi di Indonesia semakin tergambarkan dengan pengesahan RKUHP yang terkesan terburu-buru, terutama terhadap pasal penghinaan presiden. Sebelumnya, aturan penghinaan presiden ini ditemukan dalam Pasal 134 KUHP, namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. Alasannya sederhana karena MK menilai pasal ini tafsirnya rentan dimanipulasi.
Pasal yang pernah ditolak oleh MK kini dimasukan dalam draft RKUHP, tepatnya pada pasal 218 sampai dengan Pasal 220 RKUHP, yang menjelaskan mengenai aturan tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bunyi pasal sebagai berikut:
- Poin pertama: Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
- Poin kedua: Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Terdapat juga enam poin penjelasan yang ditambahkan. Inti dari penjelasan pasal tersebut berputar dalam pengertian kepentingan umum dan kritik. Kepentingan umum yang dimaksud dalam pasal ini berupa perlindungan hak berekspresi dan berdemokrasi seperti melalui penyampaian kritik. Sementara untuk kritik sendiri perlu dijelaskan beserta uraian pro dan kontranya.
Norma hukum yang mengatur mengenai penghinaan Presiden dan Wapres terdapat dalam Pasal 265 dan Pasal 266. Pasal 265 RKUHP secara lengkap berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Denda yang dimaksud sebagai kategori IV adalah sebagaimana termaktub dalam ketentuan RKUHP dengan nilai paling banyak dari denda yang diusulkan pemerintah yaitu Rp300 juta. Sedangkan Pasal 266 RKUHP menyebutkan “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Namun menariknya, presiden perlu mengajukan aduan terlebih dahulu untuk memproses penghinaan atau kritik yang tidak objektif. Hal ini disebabkan karena Pasal 218 di draft RKUHP bersifat delik aduan. Artinya seseorang akan terancam terkena tuntutan semisal yang melapor penghinaan itu adalah Presiden atau Wapres itu sendiri. Berbeda dengan pasal 134 KUHP yang bersifat delik biasa. Hal ini menandakan bahwa segala pihak mampu melaporkan dugaan penghinaan Presiden ke pengadilan.
Menariknya lagi ketika aliansi reformasi hukum pidana menghadiri RDP bersama komisi III DPR RI 2 minggu lalu mereka memberi saran kepada DPR untuk kasus penghinaan presiden yang boleh melakukan pengaduan ialah para pimpinan tertinggi yang duduk dalam struktur lembaga negara, pimpinan lembaga negara-lah yang berhak untuk melaporkan tindak pidana penghinaan terhadap presiden.
Jika kita merenungkan, sejak Indonesia merdeka seberapa penting fungsi lembaga kepresidenan?. Kita ketahui bersama, dalam ketatanegaraan Presiden merupakan lembaga negara yang setara dengan DPR dan dipilih melalui sistem pemilihan umum sebagai pesta menyalurkan aspirasi dari rakyat lima tahun sekali namun prakteknya aspirasi menjadi hal yang dikebiri. Tentu timbul pertanyaan tujuan dan substansi dari reformasi dengan berbagai pengorbanan anak bangsa dan tragedi tragis hanya untuk namun dikebiri dengan praktik-praktik yang berakhir intimidasi. Sehingga, penulis berpendapat, jika pasal penghinaan presiden dalam RKUHP bukan jawaban dari the colonialisasi ketidakpastian hukum di Indonesia.
