
Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan pesatnya arus komunikasi digital telah membuka ruang ekspresi publik yang sangat luas di media sosial. Namun, ruang tersebut kerap kali menjadi arena tarik menarik antara kebebasan berekspresi dan norma dalam hukum positif. Salah satu peristiwa yang memantik diskursus publik terkait isu ini adalah kasus penangkapan seorang mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia. Penangkapan tersebut dilakukan setelah SSS mengunggah konten meme digital yang menggambarkan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam pose berciuman. Meme tersebut diunggah ke media sosial X dan tak lama kemudian SSS ditangkap di tempat tinggalnya di Jatinangor, Sumedang, pada 6 Mei 2025.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan dasar penangkapan adalah adanya laporan polisi nomor: LP/B/159/III/2025/SPKT Bareskrim Polri tertanggal 24 Maret 2025, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Penyidikan sejak 7 April 2025. SSS diduga melanggar ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun tuduhan yang disangkakan adalah penyebaran konten yang mengandung muatan pelanggaran kesusilaan serta pemalsuan dokumen elektronik.
Baca juga: Kontroversi Penarikan Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh Band Sukatani dalam Hak Kebebasan Berekspresi
Kemudian, penahanan SSS ditangguhkan pada Minggu malam, 11 Mei 2025. Proses ini dilakukan setelah Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengajukan diri sebagai penjamin. Usai lepas dari tahanan, ITB memastikan akan memberikan pembinaan akademik dan karakter terhadap mahasiswi tersebut.
Kasus ini memicu polemik di kalangan publik, khususnya para ahli hukum pidana dan masyarakat sipil yang mempertanyakan proseduralitas serta legitimasi penegakan hukum oleh kepolisian. Keluarga Mahasiswa (KM) ITB menilai proses penangkapan tidak sesuai dengan prinsip due process of law dan menuntut pembebasan terhadap SSS.
Isu Hukum
- Apakah tindakan penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap SSS telah sesuai dengan prosedur hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan prinsip-prinsip due process of law?
- Apakah unggahan meme yang dibuat oleh SSS dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) dan/atau Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE, serta sejauh mana penafsiran terhadap “muatan kesusilaan” dan “pemalsuan dokumen elektronik” memenuhi asas kepastian hukum?
Analisa
Penegakan hukum terhadap ekspresi digital dalam kasus SSS tidak mencerminkan kepatuhan terhadap prinsip due process of law sebagaimana diatur dalam KUHAP
Penegakan hukum pidana harus tunduk pada prinsip due process of law sebagai prinsip universal yang menjamin keadilan prosedural. Di Indonesia prinsip ini tercermin dalam KUHAP yang mengatur secara ketat mekanisme penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Pasal 17 KUHAP menjelaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Selanjutnya, Pasal 18 KUHAP mengharuskan adanya surat tugas dan pemberitahuan alasan penangkapan kepada tersangka.
Penangkapan terhadap SSS menimbulkan kritik karena diduga dilakukan secara tidak transparan dan tidak proporsional, terutama mengingat konteks perbuatan yang bersifat ekspresi digital. Dalam due process, aparat penegak hukum tidak hanya wajib taat prosedur, tetapi juga menjunjung asas proporsionalitas dan akuntabilitas dalam menggunakan wewenangnya.
Pelanggaran terhadap prosedur penangkapan dapat berimplikasi pada pelanggaran HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945. Oleh karena itu, perlu ditelaah apakah penangkapan terhadap SSS memenuhi kualifikasi sebagai tindakan yang sah menurut hukum, atau justru merupakan bentuk eksesif penggunaan kekuasaan negara terhadap ekspresi warga negara.
Penerapan pasal kesusilaan dan pemalsuan elektronik dalam UU ITE terhadap konten ekspresi digital tidak memenuhi asas kepastian hukum dan mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi
Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam perkara yang menimpa SSS didasarkan pada ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo. Pasal 35 UU ITE.
Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1).
Sementara itu, Pasal 35 UU ITE mengatur mengenai perbuatan memanipulasi, mengubah, menciptakan, merusak, menghilangkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara tanpa hak, yang dilakukan dengan maksud agar seolah-olah informasi atau dokumen tersebut merupakan data yang otentik. Sanksi atas perbuatan ini dirumuskan dalam Pasal 51 ayat (1), yakni pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00.
Kendati demikian, norma-norma dalam pasal-pasal tersebut menuai kritik akademik dan praktis karena mengandung potensi multitafsir. Pasal 27 ayat (1) misalnya, menyebut istilah “muatan melanggar kesusilaan” tanpa memberikan definisi normatif yang tegas mengenai batasan kesusilaan tersebut. Ketiadaan parameter hukum yang konkret menjadikan pasal ini rentan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum sebagai dasar kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah. Hal ini secara yuridis bertentangan dengan asas lex certa, yakni prinsip kepastian hukum yang mengharuskan setiap norma pidana dirumuskan secara jelas dan tidak ambigu.
Lebih lanjut, Pasal 35 UU ITE mengenai manipulasi atau pemalsuan dokumen elektronik semestinya dimaknai dalam kerangka dolus specialis, yaitu dengan adanya maksud untuk menyamarkan keaslian suatu dokumen atau menciptakan ilusi keotentikan terhadap data elektronik. Dalam konteks meme digital yang bersifat parodi atau satire, seperti dalam kasus SSS, konten yang dibuat cenderung merupakan ekspresi visual berbasis opini atau kritik, bukan produk dokumen hukum atau administratif yang berkedudukan sebagai alat bukti formal. Dengan demikian, pengkualifikasian meme sebagai dokumen elektronik yang dimanipulasi atau dipalsukan merupakan bentuk perluasan makna hukum yang tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam hukum pidana.
Hadiyati dan Stathany (2021) menegaskan bahwa “perlu dibuatkan aturan tegas dan tertulis yang bisa dijadikan acuan untuk memberantas kejahatan dunia maya,” namun peraturan tersebut haruslah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan hukum pidana, sebagai bentuk norma yang membatasi hak asasi, tidak dapat disusun tanpa kepastian rumusan dan rasionalitas yuridis yang kuat.
Dari perspektif konstitusional, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresi. Oleh karena itu, penerapan UU ITE dalam ruang ekspresi digital harus tunduk pada prinsip legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas agar tidak berubah menjadi alat represi terhadap kebebasan sipil. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008 juga menekankan bahwa ketentuan pidana harus memiliki kejelasan norma untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan oleh aparat negara. Jika norma pidana digunakan tanpa batasan penafsiran yang ketat, maka UU ITE dapat bertransformasi menjadi instrumen pembungkam ekspresi yang ironisnya bertentangan dengan semangat demokrasi dan negara hukum.
Tanggapan akademisi dan masyarakat sipil menguatkan perlunya peninjauan ulang pasal-pasal multitafsir UU ITE dalam menghadapi ekspresi digital di era demokrasi
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa tindakan penangkapan terhadap SSS merupakan bentuk ekses kekuasaan yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Ia menegaskan bahwa Presiden dan mantan Presiden merupakan institusi publik yang tidak lagi memiliki ruang privat dalam konteks hukum publik. Oleh karena itu, menurutnya, meme tersebut harus dilihat sebagai ekspresi kritik terhadap pejabat publik, bukan sebagai penghinaan terhadap individu.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa tindakan kepolisian tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa kegaduhan di media sosial tidak serta merta dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Ia menyebut tindakan Polri sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan konstitusional dan mencerminkan respons represif yang otoriter dalam merespons kritik di ruang digital.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, juga menyampaikan bahwa penangkapan SSS tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Menurutnya, meme yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan merupakan bentuk satire atas fenomena politik “matahari kembar”, yaitu bayangan pengaruh Presiden sebelumnya terhadap pemerintahan saat ini. Ia menegaskan bahwa UU ITE tidak dapat dijadikan dasar untuk melindungi reputasi pejabat negara, dan bahwa pasal mengenai kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE tidak memiliki rumusan normatif yang memadai sehingga menimbulkan ketidakjelasan (vagueness).
Namun demikian, terdapat pula pandangan kontra. Albert Aries, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti berpandangan bahwa tindakan SSS telah memenuhi unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Ia merujuk pada Pasal 406 KUHP baru yang mengatur bahwa perbuatan yang mempertontonkan aktivitas seksual atau ketelanjangan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dapat dikenai sanksi pidana. Dalam hal ini, konten berupa visual dua laki-laki yang ditampilkan dalam pose berciuman dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hidup masyarakat Indonesia.
Melengkapi wacana ini, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti) turut memberikan pernyataan resmi yang menekankan pentingnya pendekatan pembinaan dalam menyelesaikan perkara ekspresi digital oleh mahasiswa. Dalam rilis resminya, Kemendikti mendorong agar penyelesaian dilakukan melalui edukasi etik dan pengembangan kedewasaan berekspresi, bukan dengan kriminalisasi.
Kesimpulan
Kasus penangkapan terhadap SSS, mahasiswi ITB yang mengunggah meme digital berupa visual Presiden Prabowo dan Presiden Ke-7 Joko Widodo dalam pose berciuman menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan dua hal utama.
Pertama, tindakan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap SSS tidak sepenuhnya mencerminkan kepatuhan terhadap prinsip due process of law sebagaimana diatur dalam KUHAP. Penangkapan tersebut diduga dilakukan tanpa transparansi dan tidak proporsional jika dikaitkan dengan karakter ekspresi digital yang tidak menimbulkan dampak langsung terhadap ketertiban umum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas potensi penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28D dan 28G UUD 1945.
Kedua, penerapan pasal-pasal pidana dalam UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) dan/atau Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1), terhadap unggahan meme tersebut tidak memenuhi prinsip lex certa dalam hukum pidana. Istilah “muatan melanggar kesusilaan” dan pengertian “manipulasi dokumen elektronik” mengandung ambiguitas normatif yang membuka ruang interpretasi berlebih oleh aparat penegak hukum. Pasal-pasal tersebut rentan digunakan untuk membungkam ekspresi sah yang justru dilindungi oleh konstitusi, yakni Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Pandangan para ahli hukum, organisasi masyarakat sipil, hingga sikap Kemendikti secara umum menunjukkan bahwa perkara semacam ini seharusnya disikapi dengan pendekatan pembinaan, edukasi etik dan penghormatan terhadap kebebasan berekspresi, bukan dengan kriminalisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap norma-norma multitafsir dalam UU ITE agar tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Daftar Bacaan
- Hadiyati, N., & Stathany, H. (2021). Analisis Undang-Undang Ite Berdasarkan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, 10(2), 146. https://doi.org/10.32503/mizan.v10i2.1657
- Media, K. C. (2025, May 10). Kasus meme Prabowo Jokowi, amnesty kecam Langkah Polisi tangkap mahasiswa ITB. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/jawa-timur/read/2025/05/10/143006788/kasus-meme-prabowo-jokowi-amnesty-kecam-langkah-polisi-tangkap
- Metrotvnews.com, R. F. (2025, May 11). Penangkapan Mahasiswa Pembuat Meme Prabowo Dan Jokowi Dinilai Berlebihan. https://www.metrotvnews.com. https://www.metrotvnews.com/read/kewCMjwE-penangkapan-mahasiswa-pembuat-meme-prabowo-dan-jokowi-dinilai-berlebihan
