Kontroversi Penarikan Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh Band Sukatani dalam Hak Kebebasan Berekspresi

I. Latar Belakang

Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, kebebasan berekspresi, termasuk dalam industri musik, mengalami berbagai bentuk represi. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, musik tetap menjadi alat perlawanan bagi banyak musisi untuk menyuarakan kritik sosial. Salah satu contohnya adalah band punk asal Purbalingga, Sukatani, yang merilis lagu “Bayar, Bayar, Bayar” pada 24 Juli 2023 sebagai bagian dari album debut mereka, Gelap Gempita.

Baca juga artikel dari ALSA LC Unair:
Mengupas Tuntas Tindak Pidana Pelecehan Seksual: Aspek Hukum dan Perlindungan Korban

Lagu ini baru menarik perhatian luas dan menjadi kontroversi pada Februari 2025, karena liriknya yang menyoroti praktik korupsi di kalangan oknum kepolisian. Dalam lagu tersebut, Sukatani mengkritik adanya dugaan kemudahan dalam layanan atau pengurangan sanksi yang dapat diperoleh melalui pembayaran kepada aparat. Kontroversi yang berkembang menyebabkan aparat mendorong band Sukatani untuk menyampaikan permintaan maaf kepada institusi Polri melalui sebuah video yang mereka unggah di media sosial. Selain itu, mereka juga memutuskan untuk menarik lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari semua platform musik sebagai bentuk tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan.

II. Isu Hukum
  1. Apakah lirik “Bayar, Bayar, Bayar” mengandung unsur pelanggaran hukum?
  2. Dapatkah kepolisian dalam memaksa klarifikasi pada personil band Sukatani?
III. Pembahasan

Batasan Kritik Terhadap Institusi Negara

Dalam negara demokratis, kritik terhadap institusi negara merupakan kebebasan berekpresi yang dilindungi oleh konstitusi. Namun, di Indonesia terdapat regulasi yang membatasi kritik masyarakat terhadap institusi negara, salah satunya adalah Pasal 207 KUHP yang melarang penghinaan terhadap penguasa atau lembaga negara. Dalam praktiknya, penerapan pasal ini harus mempertimbangkan konteks dan niat dari pelaku. Jika kritik disampaikan untuk perbaikan dan tanpa niat jahat, maka tidak seharusnya dikategorikan sebagai penghinaan. Sebagai contoh, pada Pasal 23 ayat (2) UndangUndang HAM tentang Hak atas Kebebasan Berekspresi, apabila kritik yang disampaikan dengan kata-kata yang sesuai norma dan bertujuan untuk perbaikan bangsa serta kepentingan umum maka tidak boleh dianggap sebagai penghinaan. Kemudian, kritik dalam lagu berdasarkan fenomena sosial yang sudah banyak dibahas dalam media bukan merupakan penghinaan sesuai dengan Pasal 310 KUHP.

Ekspresi yang Sifatnya Umum

Ekspresi umum adalah bentuk penyampaian pendapat atau pernyataan yang tidak ditujukan kepada individu tertentu, melainkan mengarah pada kelompok, profesi, atau institusi secara keseluruhan. Dalam sistem demokrasi, ekspresi umum sering kali digunakan untuk menyampaikan kritik sosial, politik, atau ekonomi terhadap kebijakan, layanan publik, atau institusi negara. Selama ekspresi tersebut tidak mengandung unsur fitnah, ujaran kebencian, atau hasutan untuk melakukan tindakan melawan hukum, maka ekspresi tersebut tetap berada dalam ranah kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan hukum internasional. Dalam kasus lagu “Bayar, Bayar, Bayar” tidak ada individu tertentu yang disebut secara spesifik dalam lirik lagu. Oleh karena itu, pasal 310 dan 311 KUHP tidak dapat diterapkan dalam perkara ini karena penghinaan dalam konteks hukum pidana harus bersifat personal (menyebutkan seseorang dengan jelas) dan bukan institusional (menyebutkan kelompok atau profesi secara umum).

Di banyak negara, termasuk Indonesia, kritik terhadap institusi negara, termasuk Polri, dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, selama tidak mengandung fitnah atau hasutan untuk melakukan kekerasan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa:

“Dalam negara demokrasi, kritik terhadap lembaga negara adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila tidak menyerang individu secara spesifik.”

Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” hanya menyebutkan “Polisi” tanpa merujuk kepada individu tertentu, sehingga lebih condong kepada kritik terhadap institusi, bukan penghinaan personal yang dapat dikenai sanksi pidana.

Polisi Tidak Memiliki Kewenangan Memaksa Klarifikasi atau Permintaan Maaf

Menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP, wewenang penyidik (dalam hal ini kepolisian) hanya meliputi:

  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
  2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara.
  3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan memeriksa identitasnya.
  4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
  5. Melakukan pemeriksaan dan penyidikan terhadap tersangka atau saksi.

Tidak ada satu pun pasal dalam KUHAP yang memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk memaksa seseorang meminta maaf atau mengklarifikasi pernyataan dalam ranah kebebasan berekspresi. Jika polisi menganggap ada pelanggaran hukumdalam suatu pernyataan, maka mereka harus mengikuti proses hukum yang benar, yaitu melalui penyelidikan, penyidikan, dan jika terbukti, dilanjutkan ke pengadilan.

Tindakan kepolisian yang meminta permintaan maaf tanpa adanya putusan hukum adalah abuse of power (penyalahgunaan kewenangan) dan bertentangan dengan prinsip due process of law (proses hukum yang adil).

IV. Kesimpulan

Penarikan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh band Sukatani menunjukkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan aturan hukum di Indonesia. Kritik terhadap institusi negara seharusnya tidak dianggap sebagai penghinaan personal, dan langkah kepolisian yang meminta klarifikasi serta permintaan maaf tanpa dasar hukum dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, penting bagi sistem hukum untuk tetap melindungi kebebasan berpendapat dari intervensi yang berlebihan, selama ekspresi tersebut tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

V. Daftar Bacaan

Buku

  • Rositawati, D., Tedjaseputra, J. A., Aziezi, M. T., Parmintori, R. T., & Abidin, Z. (2023). Protecting Expression: Criminal and Human Rights Law – Analysis of Court Judgements in Indonesia. Jakarta: Indonesian Institute for the Independent Judiciary (LeIP).

Internet

Vasa Maulana
Vasa Maulana

Vasa Maulana adalah mahasiswa Hukum Universitas Airlangga dan anggota ALSA LC Unair yang aktif menulis dan berbagi wawasan hukum di smartlawyer.id.

Articles: 1