Oleh: Sindy Riani Putri Nurhasanah dan Yuan Farrel Syahreza*
(Artikel ini diikutsertakan dalam Essay Competition Sultra Ecofest Tahun 2022 Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara)
Sejak adanya liberalisasi eksploitasi sumber daya alam, pertambangan menjelma sebagai aktor strategis yang terbukti berhasil menggerakan roda perekonomian dan pembangunan nasional suatu negara (Mark Sequilace, 2020), terkhusus bagi Indonesia. Pada konteks ekonomi, sektor pertambangan adalah salah satu kontributor terbesar bagi devisa Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Pada akhir 2018, torehan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Indonesia 23,1% lebih tinggi atau sebesar 41,77 triliun dari target yang dibebankan yaitu 32,1 triliun (Republika, 2018). Namun, di balik budi baik industri tersebut, ternyata masih banyak aspek yang terabaikan, terutama lingkungan hidup. Padahal dalam perspektif ecocracy/ eco-democracy yang dianut oleh konstitusi, kepentingan lingkungan merupakan bagian integratif yang tak boleh diabaikan dalam setiap kebijakan pemerintah terutama dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Secara empirik, industri yang merubah bentang alam ini merupakan salah satu aktor utama yang bertanggung jawab atas krisis ekologis yang terjadi hari ini. termasuk di Indonesia. Praktik deforestasi secara masif, kerusakan ekosistem dan organisme, kerusakan permukaan tanah, dan ketidakseimbangan hidrologi, maupun lubang-lubang tambang yang mengandung logam berat dan bahan beracun berbahaya merupakan konsekuensi logis kehadiran industri pertambangan. Mempertimbangkan potensi dari eksternalitas tersebut, pemerintah Indonesia memberikan kewajiban hukum kepada pelaku usaha pertambangan untuk melakukan rehabilitasi area bekas pertambangan salah satunya melalui kegiatan reklamasi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU 3/2020) mengatur bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) memiliki kewajiban memperbaiki kerusakan lingkungan salah satunya melalui reklamasi. Kewajiban reklamasi kemudian diikuti dengan kewajiban penempatan jaminan reklamasi. Pasal 161 B UU 3/2020 secara tegas menyatakan bahwa setiap pelanggaran atas kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana. Akan tetapi, keberadaan sanksi tersebut belum mampu menimbulkan efek jera dan berpihak kepada restorasi lingkungan hidup.
Problematika di atas berawal dari mispersepsi pelaku usaha pertambangan yang menganggap kewajiban penempatan dana jaminan sebagai instrumen pengalihan tanggung jawab pelaksanaan reklamasi kepada pemerintah. (Ayu & Hudali Mukti Linanda, 2017) Belum lagi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menyatakan bahwa dari total 10.099 IUP di seluruh Indonesia, hanya 2.569 IUP Clear and Clear (CnC) dan sekitar 60% pemegang IUP CnC tersebut belum menempatkan jaminan reklamasi (Auriga Nusantara, 2020) Fenomena ini diperparah dengan belum adanya aturan yang mengatur secara pasti besaran nominal dana jaminan reklamasi yang harus ditempatkan oleh pelaku usaha pertambangan. Polemik ini semakin kompleks tatkala fakta di lapangan juga menunjukan adanya perilaku oknum pemerintah yang koruptif serta tidak responsif, terhadap setiap pelanggaran kewajiban reklamasi.
Celah regulasi dan potret buruknya pelaksanaan reklamasi pertambangan yang problematik ini tentu kontraproduktif terhadap kewajiban negara dalam konsep eco-democracy. Idealnya menurut konsep eco democracy, melalui kebijakan legislasi negara seyogyanya memberikan jaminan perlindungan lingkungan hidup sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional atas lingkungan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis hendak mengelaborasi urgensi rekonstruksi (pembangunan/perumusan kembali) dan model rekonstruksi regulasi pengelolaan dana jaminan reklamasi yang transformatif dalam tata kelola pertambangan di Indonesia berdasarkan konsep eco-democracy.
1. Urgensi Rekonstruksi Pengelolaan Jaminan Reklamasi Pertambangan Eksisting dari Perspektif Eco-Democracy
Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Pasal 96 UU 3/2020 IUP dan IUPK wajib melakukan reklamasi dan/atau pascatambang. Menurut Pasal 99 ayat (1) UU 3/2020, pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. Selanjutnya, Pasal 100 (1) UU Minerba mewajibkan pula Pemegang IUP/IUPK untuk menyediakan dan menempatkan jaminan reklamasi dan/atau jaminan pascatambang.
Keputusan Menteri ESDM K/30/MEM/2018 mengatur bahwa jaminan reklamasi merupakan dana yang disediakan oleh Pemegang IUP/IUPK sebagai jaminan untuk melakukan kegiatan reklamasi baik pada tahap eksplorasi maupun eksploitasi. Selanjutnya, bentuk jaminan reklamasi pertambangan menurut Keputusan Menteri ESDM tersebut, diantaranya yaitu: rekening bersama, deposito berjangka, bank garansi, cadangan akuntansi yang diterbitkan atas nama direktorat Jendeal atau Gubernur (pemerintah). Keputusan Menteri dimaksud juga menyatakan bahwa pemegang IUP/IUPK dinyatakan melalaikan kewajibannya untuk melakukan reklamasi jika setelah dua kali periode penilaian berturut-turut, pelaksanaan reklamasi belum mencapai keberhasilan 60% atau, pemegang IUP/IUPK dinyatakan oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya dalam melaksanakan reklamasi.
Pasal 28 H Ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin dan melindungi hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia tak terkecuali pada sektor pertambangan, Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945 mengamanatkan penerapan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam tersebut mengindahkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Keradaan pasal-pasal tersebut secara implisit merupakan perwujudan konsep eco-democracy atau ecocracy.
Eco-democracy secara global hadir pertama kali dalam the Brundtland Report. Konsep ini merupakan bentuk pengakuan terhadap kekuatan alam dan kehidupan yang ada di dalamnya, pemahaman mengenai keterbatasan lingkungan, elemen kerjasama dengan alam, serta yang terpenting yakni menciptakan sistem ekologi yang berkelanjutan dengan penghormatan terhadap bumi beserta isinya dan tidak melakukan perampasan secara eksploitatif tanpa perhitungan. Pemikiran tersebut juga dikenal sebagai bentuk demokrasi yang tidak mencederai alam dan bumi serta membahayakan negara atau lingkungan sekitar. Oleh karena eco-democracy telah terinternalisasi dalam konstitusi, maka konsep eco-democracy idealnya menjadi kaidah penuntun dalam pembuatan kebijakan negara termasuk pada sektor perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kita memang patut mengapresiasi keberadaan Pasal 161 B UU 3/2020 secara progresif menyatakan bahwa:
- Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan: a. Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau b. penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
- Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang yang menjadi kewajibannya.
Akan tetapi apabila dielaborasi lebih lanjut, pengaturan Pasal tersebut masih mengandung beberapa kelemahan. Pertama, adanya frasa “dan” setelah “setiap orang yang IUP/IUPK dicabut atau berakhir” serta “tidak melaksanakan” mengandung makna bahwa penjatuhan sanksi pidana dimaksud tidak dapat dikenakan seketika pada saat pemegang IUP/IUPK tidak melakukan reklamasi atau penempatan jaminan reklamasi. Dengan kata lain sanksi pidana dimaksud baru dijatuhkan manakala IUP/IUPK pelaku usaha pertambangan dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi atau penempatan reklamasi. Kedua, terdapatnya frasa “dapat” dalam ayat (2) Pasal tersebut yang tidak menimbulkan konsekuensi adanya kewajiban hukum bagi hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran dana reklamasi, sehingga tidak menjamin adanya kepastian penjatuhan sanksi pidana pokok dan tambahan secara simultan. Ketiga, jenis sanksi tambahan berupa pembayaran dana reklamasi tidak solutif dan cukup executable manakala pelaku usaha pertambangan tengah berada dalam kondisi keuangan yang sulit (financial distress).
Di samping problem normatif, fakta di tataran implementasi menunjukkan bahwa pemerintah seringkali tidak responsive terhadap setiap pelanggaran kewajiban reklamasi. Pemerintah juga bahkan tidak melakukan reklamasi dalam hal pelaku usaha melalaikan kewajiban reklamasi (Tri Hayati, Conrado M. Cornelius dan Andri G. Wibisana, 2020). Salah satu fakta empirik yang semakin mempertegas polemik tersebut diperoleh oleh penulis melalui wawancara dengan seorang Akademisi Hukum Lingkungan di Kabupaten Banyumas. Beliau mengatakan bahwa alih-alih memberikan sanksi kepada perusahaan yang mengabaikan kewajiban reklamasinya, Pemerintah Kabupaten Banyumas justru merubah area lubang berkas pertambangan menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) dengan alasan bahwa Pemerintah Kabupaten Banyumas tidak memiliki TPA. Padahal jika ditelisik kembali, keputusan alih fungsi lahan tersebut tidak dapat serta merta dilakukan, tanpa ada kajian tata ruang dan lingkungan terlebih dahulu. Fakta yang tidak kalah mencegangkan lainnya adalah bahwa jaminan reklamasi ini rupanya menjadi komoditas praktik korupsi bagi oknum pejabat pemerintah di Indonesia seperti halnya kasus korupsi jaminan reklamasi senilai 48 miliar oleh Ansar Ahmad mantan Bupati Kabupaten Bintan.
Polemik lain timbul karena pelaku usaha tambang seringkali mempersepsikan mekanisme kewajiban penempatan jaminan reklamasi sebagai instrumen pengalihan tanggung jawab kepada pemerintah. Padahal Pasal 32 PP 78/2010 menegaskan bahwa penempatan jaminan reklamasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP/IUPK untuk melaksanakan reklamasi. Keberadaannya tidak lain adalah sebagai wujud kesungguhan setiap pemegang IUP/IUPK untuk memulihkan lahan bekas pertambangan sesuai peruntukkannya.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mencatat tingkat kepatuhan perusahaan pertambangan dalam penempatan dana jaminan reklamasi. Sebanyak 2.569 IUP Clear and Clear (CnC) dari total 10.099 IUP di seluruh Indonesia, sekitar 60% pemegang IUP CnC tersebut belum menempatkan jaminan reklamasi. Status quo ini pada akhirnya menyebabkan banyaknya lubang bekas pertambangan yang terbengkalai. Lubang pertambangan tersebut tersebar di beberapa provinsi dengan jumlah area bekas tambang sekitar 3.092 lubang. Kekeliruan paradigmatik ini tentu menjadi ancaman nyata yang setiap waktu dapat mengancam kehidupan masyarakat. Ancaman nyata ini tercermin dengan peristiwa kematian 143 orang akibat lubang pertambangan yang terbengkalai tersebut pada kurun waktu 2011-2019. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan menyatakan bahwa tidak pernah ada penyelesaian hukum secara tuntas atas setiap peristiwa tewasnya korban-korban tersebut.
Uraian di atas mengilustrasikan secara jelas bahwa regulasi dan implementasi pengelolaan jaminan reklamasi bekas tambang tidak mampu merefleksikan konsep eco-democracy, sehingga terdapat urgensi untuk merekonstruksi regulasi pengelolaan jaminan reklamasi eksisting di Indonesia.
2. Rekonstruksi Pengelolaan Dana Jaminan Reklamasi Bekas Tambang Berdasarkan Persepektif Eco-Democracy
Berangkat dari urgensi yang terurai di atas dan peranan penting konsep eco-democracy dalam perumusan kebijakan negera terutama dalam sektor pertambangan, dalam hal ini peneliti mengusulkan dua alternatif solusi yang bersifat integral dalam rekonstruksi pengelolaan jaminan reklamasi berdasarkan eco-democracy di antaranya sebagai berikut:
(i) Transformasi Pengelolaan Jaminan Reklamasi kepada Lembaga Asuransi
Bentuk-bentuk jaminan reklamasi yang diakui dalam regulasi eksisting secara empirik terbukti menimbulkan celah dari segi pengawasan dan akuntabilitas yang tidak efektif sehingga menyebabkan sejumlah besar dana yang ditujukan untuk kegiatan reklamasi menjadi hilang karena perilaku koruptif, pengalihan untuk penggunaan lain atau terbuang percuma. Berangkat dari hal tersebut, legislator perlu mencarikan platform pengelolaan jaminan reklamasi transformatif yang dapat lebih menjamin terlaksananya reklamasi, salah satunya adalah lembaga asuransi.
Asuransi merupakan instrumen ekonomi yang berfungsi membantu pihak pelaku usaha untuk mencadangkan dana tetap atau taktis dalam melaksanakan kewajiban reklamasi bekas tambang. Secara historik, gagasan ini lahir dengan berkaca pada komitmen perusahaan dan pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum terhadap kewajiban reklamasi.
Sebagai salah satu bidang yang tercakup dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, keberadaan lembaga asuransi lingkungan jelas diatur dalam Pasal 43 ayat (3) huruf f UU PPLH yang menyatakan bahwa insentif dan/atau disinsentif dalam instrumen ekonomi lingkungan hidup dapat berupa asuransi lingkungan hidup. Rekognisi yuridis tesebut tentu memberikan peluang yang besar bagi penerapan lembaga asuransi sebagai platform solutif bagi pengelolaan jaminan reklamasi yang problematik saat ini.
Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang RI (KUHD) merumuskan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak diprediksi. Pada praktiknya, jenis asuransi ini dikategorikan dengan asuransi umum. Asuransi jenis ini kini mulai masif diterapkan pada industri berskala besar seperti pertambangan, minyak dan gas bumi.
Dengan rekonstruksi transformatif ini, pemegang IUP/IUPK nantinya memenuhi kewajiban penempatan jaminan reklamasi melalui pembayaran premi setiap bulan kepada lembaga asuransi sesuai dengan biaya yang telah ditetapkan berdasarkan perhitungan estimator dana jaminan profesional yang dipekerjakan oleh perusahaan asuransi. Biaya ini mencakup: biaya jasa konsultan perencana reklamasi, estimator dana jaminan, kontraktor pelaksana reklamasi. penilai independen kalayakan hasil reklamasi serta biaya pengeloaan asuransi dan lain sebagainya. Disamping lebih presisi karena menggunakan terdapat jasa estimator profesional dalam menetapkan biaya jaminan reklamasi melalui lembaga asuransi, setidaknya memiliki beberapa keunggulan dibandingkan apabila dikelola oleh unsur pemerintah, di antaranya:
- Mendorong manajemen pengelolaan dana jaminan reklamasi menjadi lebih profesional, transparan, akuntabel dan executable.
- Dana dan angsuran dana jaminan reklamasi yang tersimpan pada perusahaan asuransi tidak akan menjadi dana menganggur karena dapat digunakan untuk pembiayaan sektor produktif (jika perusahaan asuransi terafiliasi dengan perbankan).
- Mekanisme ini tidak menghambat iklim investasi dan berkelanjutan dari segi ekonomi, karena Pemilik IUP dan IUPK akan terhindar dari investasi awal (initial investment) yang besar akibat adanya setoran dana jaminan yang relatif cukup besar di awal.
Nantinya, pelaku usaha pertambangan diwajibkan untuk membayar premi kepada perusahaan asuransi sembari menjalankan kewajiban reklamasi. Premi yang terkumpul tersebut digunakan sebagai jaminan pelaksanaan reklamasi manakala pelaku usaha pertambangan tidak melaksanakan kewajiban reklamasi (default). Bagi pelaku usaha pertambangan yang telah menyelesaikan secara tuntas kewajiban pembayaran preminya, premi yang terkumpul tersebut dapat dikalim kembali oleh pelaku usaha setelah kriteria keberhasilan reklamasi menurut peraturan yang berlaku telah terpenuhi berdasarkan penilaian tim penilai independen yang dipekerjakan oleh perusahaan asuransi
(ii) Penegasan Sanksi Pidana Double Track System dalam UU Mineral dan Batubara
Double track system secara sederhana merupakan konsep penempatan secara setara dan tidak terpisah antara sanksi pidana pokok dengan sanksi pidana tindakan yang tergolong sebagai pidana tambahan. Konsep ini pada hakikatnya dianut oleh Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai UU Payung bagi UU Mineral dan Batubara. Mendasarkan pada beberapa kelemahan yang dijumpai pada Pasal 161 B UU 3/2020 sebagaimana telah terurai di atas, penulis mengusulkan adanya revisi terhadap Pasal tersebut dengan menegaskan konsep double track system melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- Mengatur bahwa kelalaian atas penempatan jaminan reklamasi atau kewajiban reklamasi merupakan suatu tindak pidana secara tersendiri;
- Merubah frasa “dapat” pada Pasal 161 B ayat (2) UU tersebut menjadi frasa “dan”, sehingga kepastian bahwa hakim akan menjatuhkan sanksi pidana pokok dan tambahan secara bersamaan dapat terjamin; dan
- Mengganti sanksi pidana tambahan berupa pembayaran dana reklamasi pada ayat (2) dengan sanksi pidana tambahan berupa penutupan kegiatan usaha.
Akhir kata, melalui gagasan konseptual ini penulis berharap berbagai problem regulasi dan kompleksitas pelaksanaan reklamasi di Indonesia yang telah banyak menimbulkan banyak eksternalitas bagi masyarakat dan lingkungan hidup saat ini dapat segera teratasi dengan baik. Pemerintah sebagai regulator berkepentingan untuk memastikan berjalannya reklamasi lahan dengan berupaya mendorong asuransi sebagai pilihan alternatif pengelolaan jaminan reklamasi dan penegasan sanksi pidana double track system atas kelalaian penempatan jaminan reklamasi atau kewajiban reklamasi. Eksistensi industri pertambangan secara historik memang memiliki budi baik terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, jangan sampai eksistensi kegiatan ekstraksi komoditas yang eksploitatif tersebut lantas terus menjadi justifikasi atas pengesampingan hak asasi masyarakat atas lingkungan baik dan sehat dalam kerangka eco-democracy
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara
Buku dan Artikel Ilmiah
- Abdulkadir, Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004)
- Akmal, Diya Ul, ‘“Penataan Peraturan Perundang-Undangan Sebagai Upaya Penguatan Sistem Hukum Di Indonesia”’, Jurnal Legislasi Indonesia, 18.1, 297.
- Cheng, Linlin dan Jeffrey G. Skousen, “Comparison of International Mine Reclamation Bonding Systems with Recommendations for China”, International Journal Coal Science Technology, 4.2 (2017), 67.
- Chumaida, Zahry Vandawati, “Lembaga Asuransi Sebagai Salah Satu Alternatif Penanggung Risiko Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Prosiding Seminar Nasional: Tanggung Jawab Pelaku Bisnis Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2021, 114.
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “Pelanggaran Atas Hak Dasar Dalam Kasus Eks Lubang Tambang Di Kalimantan Timur”, 2016.
- Linanda, Ayu dan Hudali Mukti, “Kewajiban Perusahaan Pertambangan Dalam Melaksanakan Reklamasi Dan Pascatambang Di Kota Samarinda”, Jurnal Ilmiah Hukum Yuriska, 8.2 (2017), 67
- Nurmardiansyah, Eko, ‘Konsep Hijau: Penerapan Green Constitution Dan Green Legislation Dalam Rangka Eco-Democracy’, 2018
- Nusantara, Auriga, “Curang Di Lubang Tambang: Kerentanan Korupsi Jamnian Reklamasi Dan Pascatambang”, 2020
- Pratama, Muhammad Bintang dan Emmy Latifah, “Urgensi Penetapan Besaran Deposito Berjangka Jaminan Reklamasi Dan Pasca Tambang Oleh Perusahaan Pertambangan Asing Di Indonesia”’, UIR Law Review, 3.1, 53–54.
- Raya, Muhammad Yaasiin dan Irwansyah, “Analisis Kewajiban Deposito Sebagai Jaminan Reklamasi Dan Pascatambang”, Papua Law Journal, 2021, 1.2, 224
- Sequilace, Mark, ‘“Best Regulatory Practices Foe Deep Seabed Mining: Lesson Learned from U.S. Surface Mining Control and Reclamation Act”’, Marine Policy, 125, 2
- Sullivan, B, ‘“Reclamation and Post Mining Activities: Excessive and Unrealistic Regulation, Licensed Foreign Advocate with Christian Teo Purwono & Partners”’, Coal Asia Magazine, p. 6
- Tri Hayati, Conrado M. Cornelius dan Andri G. Wibisana, “Why Reclamation Bonding Mechanisms Fail in Indonesia”, Journal of Energy & Natural Resources Law, 2020, 4
- Umar, Agus dan Hijriani, “Ambiguitas Penerapan Sanksi Kegiatan Reklamasi Dan Pascatambang”, De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 6.1, 99
- Yuliana, “Dampak Pelaksanaan Hukuman Mati Terhadap Kondisi Kejiwaan Terpidana Mati Di Indonesia”’, Indonesian Journal of Criminal Law Studies (IJCLS), 11 (2016), 48
Internet
- Abdi, Alfian Putra, ‘“Sawit, Tambang Dan Penggundulan Hutan Biang Bencana Di Kalsel.”’ .[Diakses 25 Juli 2022]
- Rahmadi, May, ‘“Nasib Lubang Tambang Di Bawah Revisi UU Minerba”’, 2020 . [Diakses 22 Juli 2022]
- Republika.co.id, ‘”Sektor Tambang Yang Turut Membantu Pembangunan Nasional”’ [Diakses 22 Juli 2022]
- Umah, Anisatul, “Ribuan Lubang Tambang Tak Direklamasi? Begini Data ESDM”’ . [Diakses 24 Juli 2022.
*Para penulis merupakan associate lawyer & legal consultant
Baca juga:
6 Hal yang Harus Diperhatikan Selama Mereview Kontrak