Jaminan HAM Bagi Penyandang Disabilitas

Jaminan HAM Bagi Penyandang Disabilitas
Jaminan HAM Bagi Penyandang Disabilitas

Setiap tanggal 3 Desember diperingati sebagai hari disabilitas Internasional/International Day of Persons with Disability. Peringatan ini mulai dipromisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1992. Hal tersebut dilakukan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 47/3 tahun 1992. Tujuan peringatan ini adalah untuk mempromosikan hak-hak dan kesejahteraan para penyandang disabilitas di semua bidang masyarakat dan pembangunan. Dalam merayakan hari Disabilitas Internasional Pemerintah Indonesia melalui postingan instagram Kementrian Sosial RI menyerukan “Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul”. Melalui postingan itu Pemerintah ingin menciptakan penyandang disabilitas yang mandiri, menjadi SDM yang unggul, bahkan bisa berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara.

Istilah “penyandang disabilitas” dikenal sejak Indonesia meratifikasi United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UN CRPD) pada November 2011 melalui UU 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Konvensi ini mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan asas kesetaraan.

HAM menempatkan persoalan disabilitas sebagai bagian integral dari HAM. Hal ini berpedoman dari prinsip bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang secara inheren melekat pada setiap manusia, maka kondisi sosial exclusion (dikucilkannya kelompok tertentu) yang dialami kelompok penyandang disabilitas akibat interaksi yang gagal tersebut sudah seharusnya dipandang sebagai suatu bentuk pelanggaran hak.

Pelanggaran HAM terhadap Penyandang Disabilitas

Seperti yang dilansir dari media online Theconversation.com tertanggal 2 Desember 2019, pada 2018 Dokter Gigi Romi Syofpa Ismael yang sebelumnya bertugas sebagai pegawai kontrak di sebuah rumah sakit di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, batal menjadi pegawai negeri karena menggunakan kursi roda. Pemerintah Kabupaten Solok Selatan menyatakan bahwa Romi tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani karena menyandang disabilitas. Terhadap kenyataan itu Romi bersama teman-teman aktivis pejuang hak disabilitas berkempanye ke seluruh pelosok negeri untuk menyadarkan masyarakat atas kasus ini.

Kasus lainnya seperti yang diberitakan melalui berbagai media Yeni Rosa Damayanti Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PSJI) dalam konferensi Pers dalam rangka memperingati Hari Disabilitas dan Hari HAM di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Rabu 4 Desember 2019, mengatakan ada banyak pelanggaran HAM terhadap penyandang disabilitas mental yang berada di panti-panti rehabilitasi psikososial. Yeni menilai kondisi penyandang disabilitas dinilai tak lebih buruk dari tahanan di penjara. Banyak dari mereka dirantai tangan dan kakinya dan dikurung dibalik jeruji besi dengan alas yang buruk bagi kesehatan. Yeni menegaskan hal tersebut telah melanggar prinsip dasar HAM yaitu perampasan kebebasan tanpa melalui proses hukum. Kondisi tersebut terjadi dalam panti-panti rehabilitasi psikososial yang mendapat izin dari pemerintah. Contohnya panti rehabilitasi di Bekasi, Depok, dan Jawa Barat. Selain itu dalam laporan Komnas HAM yang berjudul “HAM penyandang disabilitas mental di Panti Rehabilitasi Sosial” yang juga disampaikan dalam konferensi tersebut, menunjukkan fakta tentang pembiaran oleh negara terhadap pelanggaran HAM yang dialami oleh penyandang disabilitas mental di panti-panti sosial. Data pemerintah juga menunjukkan ada sekitar 18.000 penyandang disabilitas mental dipasung baik di panti-panti sosial ataupun di rumah yang dialami oleh laki-laki, perempuan, lansia, dan anak-anak.

Kasus lainnya melalui postingan instagram @lokataru_indonesia tertanggal 4 Desember 2019, Ama Domu Hamanay seorang penyandang tunanetra berusia 60 tahun yang tinggal di Desa Lairoka, Sumba Timur terpaksa harus berjalan jauh karena akses jalan menuju rumahnya tertutup proyek pembangunan perusahaan. Sehari-hari dia bekerja sebagai petani dan peternak di desa sebelah. Tidak hanya membuatnya kehilangan lahan, dia pun kesulitan untuk berpergian karena tanda alam yang menjadi penanda tongkatnya sudah hilang. Ia tidak mengetahui bahwa lahan sekitar rumahnya akan dijadikan proyek tersebut.

Selain pemaparan di atas masih banyak pelanggaran HAM lain yang penulis tidak dapat sampaikan dalam kesempatan ini. Secara umum pelanggaran HAM yang sering dirasakan oleh kelompok penyandang disabilitas seperti tidak mendapatkan kesempatan bekerja, tidak dapat diterima belajar di sekolah, sulit diterima bergaul secara wajar, dan tidak mendapatkan fasilitas/aksesibilitas khusus di ruang publik.

Hak Penyandang Disabilitas Menurut Hukum Indonesia

Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin hak-hak setiap warga negaranya tak terkucuali kelompok penyandang disabilitas. Pembahasan HAM diatur dalam Bab XA UUD 1945 mulai dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J. Pasal-pasal itu menjamin hak setiap penyandang disabilitas mulai dari hak untuk hidup, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapat perlakuan yang sama di depan hukum, hak mendapat pekerjaan, hak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, hak untuk tidak diberlakukan secara diskriminatif dan setiap orang wajib menghormati hak-hak orang lain. Lebih khusus lagi ketentuan tentang HAM diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan khusus tentang kelompok penyandang disabilitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini menekankan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama dengan orang lain yang non penyandang disabilitas dengan prinsip nondiskriminasi. Selain UU tersebut sudah terbit dua aturan pelaksanaan UU nomor 8 tahun 2016 yaitu Peraturan Pemerintah 52 Tahun 2019 tentang Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi Upaya Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Kedua PP ini penulis menilai menjadi harapan bagi kelompok penyandang disabilitas. Keduanya menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek yang turut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan nasional. Artinya secara aturan hukum warga negara penyandang disabilitas telah diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembangunan nasional.

Penutup

Dalam pembahasan HAM negara menjadi subjek hukum utama, karena negara merupakan entitas pertama yang bertanggung jawab untuk melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi setiap warga negaranya tidak terkecuali penyandang disabilitas. Pelanggaran HAM terhadap penyandang disabilitas beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa tidak hadirnya negara dalam memenuhi hak mereka. Semakin parahnya lagi pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di lembaga psikosial rehabilitasi mental yang diberikan izin oleh negara. Padahal hukum Indonesia telah yang menjamin HAM penyandang disabilitas mulai dari UUD 1945, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan dua PP tentang Pelaksanaan UU 8 Tahun 2016. Namun dalam praktiknya masih banyak terjadi pelanggaran HAM terhadap penyandang disabilitas.

Penulis berpendapat bahwa selain peraturan hukum yang baik diperlukan pelakasanaan hukum yang baik oleh Pemerintah. Masih banyak oknum-oknum di Pemerintahan yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas misalnya kasus Dokter Gigi Romi. Selain pelaksanaan hukum, dibutuhkan kesadaran masyarakat tentang pengetahuan kesetaraan hak terhadap penyandang disabilitas agar masyarakat turut serta dalam mewujudkan Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul.

Artikel ini telah diterbitkan di penaham.blogspot.com pada 13 Desember 2019
Fathin Abdullah Hutasuhut, SH
Fathin Abdullah Hutasuhut, SH
Articles: 1