Artikel ini ditulis oleh Livia Naomi Rigawara & Nasywa Ananda Herliana.

DAFTAR ISI
Latar Belakang
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, pembangunan apartemen di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan pesatnya urbanisasi, keterbatasan lahan di pusat kota, serta perubahan gaya hidup masyarakat modern. Apartemen tidak lagi dipandang semata-mata sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai instrumen investasi yang menjanjikan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga merambah ke kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, hingga Makassar, yang sama-sama menunjukkan lonjakan permintaan hunian vertikal. Di kawasan Jabodetabek, misalnya, hingga tahun 2024 tercatat lebih dari 350.000 unit apartemen dengan konsentrasi tertinggi berada di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Banyak proyek apartemen dikembangkan dalam bentuk superblock atau mixed-use development yang mengintegrasikan hunian dengan pusat perbelanjaan, perkantoran, hingga fasilitas publik, sehingga menjadikan apartemen sebagai salah satu sektor properti dengan nilai investasi yang besar dan melibatkan berbagai pihak, baik pengembang, investor, maupun konsumen.1
Selain sebagai jawaban atas kebutuhan hunian masyarakat perkotaan, apartemen juga memiliki nilai strategis sebagai aset investasi jangka panjang. Nilai properti yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, potensi passive income melalui penyewaan unit, fasilitas yang lengkap, serta aksesibilitas yang praktis menjadi faktor utama yang mendorong minat masyarakat terhadap investasi apartemen.2 Kondisi ini menegaskan bahwa perkembangan apartemen di Indonesia tidak hanya berdampak pada pemenuhan kebutuhan perumahan, tetapi juga memiliki implikasi ekonomi yang luas.
Namun, di balik prospek ekonomi yang menjanjikan, pembangunan apartemen juga menyimpan potensi masalah hukum yang tidak sedikit. Dalam praktiknya, pengembangan (developer) kerap menghadapi sengekta utang, baik yang timbul dalam proses pembangunan maupun yang berkaitan langsung dengan konsumen. Sengketa tersebut biasanya muncul akibat cidera janji seperti keterlambatan serah terima kunci, bahkan tidak terealisasinya pembangunan apartemen meskipun konsumen telah membayar lunas melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Kondisi ini menempatkan konsumen dalam posisi rentan karena hak kepemilikan atas unit yang telah mereka biayai menjadi tidak pasti. Sebagai sengketa utang, permasalahan ini pada dasarnya dapat dibawa ke ranah hukum kepailitan, namun mekanisme tersebut seringkali justru menimbulkan kerugian tambahan bagi konsumen.3
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kasus di mana pengembang dinyatakan pailit sebelum menyerahkan unit apartemen kepada konsumen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, apabila pengembang pailit sebelum serah terima dilakukan, maka perjanjian yang telah disepakati dianggap berakhir dan konsumen hanya dapat mengajukan klaim sebagai kreditor konkuren. Posisi ini sangat lemah karena konsumen harus bersaing dengan kreditur lainnya untuk memperoleh ganti rugi, tanpa jaminan mendapatkan kembali nilai penuh atas pembayaran yang telah dilakukan. Kasus PT. Mitra Safir Sejahtera pada 2012, misalnya, menunjukkan bagaimana kepailitan pengembang Apartemen Kemanggisan Residence berakhir dengan pelelangan aset, termasuk unit-unit yang telah dibayar konsumen. Banyak pembeli akhirnya tidak memperoleh kepastian hukum atas hak milik mereka.4 Situasi ini memperlihatkan bahwa mekanisme kepailitan, yang semestinya menjadi solusi, justru dapat memperburuk kerugian konsumen apartemen dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang serius.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 3 Tahun 2023 sebagai langkah normatif untuk memperluat perlindungan hukum bagi konsumen apartemen. Surat Edaran ini hadir sebagai respon atas maraknya kasus kepailitan pengemabngan yang justru merugikan pembeli unit. Substansinya menegaskan bahwa konsumen yang telah mengikatkan diri dalam PPJB memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat dan tidak boleh semata-mata diposisikan sebagai kreditor konkuren. Dengan demikian, SEMA ini berupaya menutup celah hukum yang selama ini melemahkan posisi konsumen dalam perkara kepailitan.
Oleh karena itu, kajian mengenai implikasi SEMA No.3 Tahun 2023 menjadi sangat penting. Pertama, perlu dianalisis sejauh mana ketentuan baru ini mampu memberikan kepastian hukum bagi konsuumen apartemen ketika pengembang menghadapi masalah finansial. Kedua, perlu dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap konsep kepailitan itu sendiri, mengingat SEMA tersebut membawa pergeseran paradigma dalam menentukan prioritas hak antara pengembang, kreditor, dan konsumen. Dengan menelaah aspek normatif dan praktis dari regulasi ini, diharapkan dapat ditemukan gambaran yang lebih jelas mengani arah perlindungan hukum dan efektivitas sistem kepailitas di Indonesia.
Analisis
Mahkamah Agung menerbitkan berbagai produk hukum yang berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas peradilan, salah satunya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA). SEMA berisi instruksi atau arahan resmi yang ditujukan kepada hakim dan pengadilan, misalnya mengenai tata cara pemeriksaan perkara, mekanisme pemanggilan melalui surat tercatat, hingga penerapan hukum dalam bidang tertentu.5 SEMA tidak memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang, namun keberadaannya digunakan sebagai pedoman internal peradilan yang berfungsi memberikan arahan praktis bagi hakim dan pengadilan. Fungsi ini muncul karena perkembangan peraturan perundang-undangan seringkali berjalan lambat, menimbulkan ketidakpastian tafsir, atau tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Penerbitan SEMA juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena kedudukannya hanya sebatas kebijakan administratif yang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas peradilan.6 Dengan demikian, SEMA tidak bersifat mengikat layaknya undang-undang, tetapi lebih merupakan arahan yang dapat mempengaruhi praktik peradilan dalam kasus-kasus tertentu.
Ketentuan mengenai pembuktian sederhana telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (selanjutnya disebut UUK-PKPU). Dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa seorang debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo serta dapat ditagih dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun permohonan kreditornya. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menegaskan bahwa permohonan pernyataan pailit wajib dikabulkan apabila terbukti secara sederhana bahwa persyaratan dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Selain itu, Pasal 222 UUK-PKPU mengatur bahwa debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor dan tidak mampu atau memperkirakan tidak mampu melanjutkan pembayaran utang yang telah jatuh tempo berhak mengajukan PKPU dengan maksud menawarkan rencana perdamaian kepada kreditornya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, pembuktian sederhana dimaknai sebagai mekanisme untuk mengabulkan permohonan pailit maupun PKPU apabila secara sederhana dapat dibuktikan adanya lebih dari satu kreditor serta utang yang sudah jatuh tempo dan belum dibayarkan, tanpa memperhitungkan jumlah utangnya.
Namun, setelah lahirnya SEMA Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, pengaturan mengenai pembuktian sederhana mengalami pergeseran. Salah satu rumusan hukum dalam kamar perdata khusus menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit maupun PKPU yang diajukan terhadap pengembang apartemen dan/atau rumah susun tidak dapat dikualifikasikan sebagai pembuktian sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Dengan rumusan ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa pengembang apartemen dan rumah susun memiliki karakteristik hukum yang berbeda dengan debitor pada umumnya, sehingga tidak dapat serta-merta dinyatakan pailit hanya berdasarkan syarat minimal adanya dua kreditor dan satu utang yang jatuh tempo serta dapat ditagih. Akibatnya, SEMA ini membatasi ruang lingkup penerapan asas pembuktian sederhana, khususnya dalam perkara kepailitan maupun PKPU terhadap pengembang, karena dipandang tidak memenuhi unsur kesederhanaan yang dimaksud dalam undang-undang.
Lahirnya SEMA Nomor 3 Tahun 2023 kemudian menimbulkan polemik karena keberadaannya dinilai lebih menguatkan posisi debitor yang berstatus sebagai pengembang rumah susun dibandingkan memberikan perlindungan bagi kreditor. Melalui SEMA ini, status pengembang apartemen dan/atau rumah susun dijadikan salah satu pertimbangan utama hakim dalam menilai terpenuhinya syarat pembuktian sederhana, sebab jumlah kreditor maupun keberadaan utang sangat bergantung pada kondisi masing-masing developer dan proyek rumah susun yang disengketakan. Akibatnya, meskipun permohonan pailit atau PKPU tetap dapat diajukan dan diperiksa di persidangan, kecenderungan hakim adalah menolak permohonan tersebut dengan alasan tidak terpenuhinya asas pembuktian sederhana. Kondisi ini jelas menimbulkan kerugian bagi kreditor, khususnya pembeli apartemen yang pada umumnya berstatus sebagai kreditor konkuren tanpa jaminan kebendaan. Ketentuan ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan, di mana posisi debitor semakin diperkuat sementara kreditor, terutama pembeli apartemen, semakin terpinggirkan.
Dalam praktik, banyak konsumen telah melakukan pembayaran meskipun pembangunan apartemen belum selesai, sehingga ketika unit yang dijanjikan tidak diserahkan, kedudukan mereka sebagai kreditor semakin lemah akibat adanya SEMA Nomor 3 Tahun 2023 yang menutup kemungkinan mempailitkan developer melalui mekanisme kepailitan maupun PKPU. Fakta ini diperkuat dengan adanya praktik pre-project selling yang kerap dilakukan oleh pengembang sebagai strategi pemasaran, yakni menawarkan apartemen yang masih sebatas gambar atau denah tanpa perizinan lengkap maupun kepastian lokasi pembangunan.7 Kondisi ini menyebabkan banyak konsumen membayar terlebih dahulu tanpa mengantongi dokumen penting seperti PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) atau AJB (Akta Jual Beli), sehingga posisi mereka semakin rentan secara hukum. Padahal, esensi hukum kepailitan tidak hanya terletak pada mekanisme pembuktian sederhana, tetapi juga pada keberadaan asas bahwa undang-undang kepailitan harus memberi manfaat sekaligus perlindungan yang seimbang bagi kreditor maupun debitor.
Selain itu, asas kepailitan yang menekankan perlindungan seimbang antara debitor dan kreditor justru tereduksi. Dalam kepailitan terdapat asas kepastian hukum yang menekankan bahwa undang-undang kepailitan harus memberi manfaat sekaligus perlindungan yang seimbang bagi kreditor maupun debitor. Asas ini menuntut agar kreditor dapat dengan mudah memperoleh pembayaran utang dan akses terhadap harta debitor yang tidak mampu membayar, tanpa mengorbankan pihak lain yang berkepentingan, dengan tetap menjunjung rasa keadilan serta kepastian hukum.8 Dengan demikian, Kepailitan dimaksudkan bukan hanya sebagai instrumen penyelesaian sengketa bagi debitor, tetapi juga sebagai mekanisme untuk menjamin kreditor baik konkuren maupun separatis mendapatkan kepastian pembayaran utang. Tetapi dengan adanya SEMA ini, kreditor dapat kehilangan akses untuk menagih hutang melalui mekanisme kepailitan. Konsekuensinya, kreditor akan menanggung beban yang lebih berat, sementara debitor (developer) memperoleh perlindungan berlebih.
Jika ditelaah lebih jauh, keberadaan SEMA Nomor 3 Tahun 2023 juga menimbulkan kontradiksi normatif terhadap UUK-PKPU. Di satu sisi, Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU telah menegaskan bahwa sepanjang terpenuhi syarat minimal adanya dua kreditor dan satu utang jatuh tempo yang dapat ditagih, maka permohonan pailit harus dikabulkan. Di sisi lain, SEMA 3/2023 menutup pintu penggunaan mekanisme tersebut bagi kreditor yang berhadapan dengan pengembang apartemen dan rumah susun. Dengan kata lain, SEMA yang seharusnya hanya bersifat administratif justru berimplikasi substantif karena secara nyata membatasi hak kreditor untuk menagih melalui jalur kepailitan. Ketidakselarasan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait bagaimana penyelesaian sengketa mengenai pembuktian sederhana dapat dilakukan. Dengan demikian SEMA dapat ditempatkan seolah-olah memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada undang-undang.
Baca juga: Perdamaian dalam Kepailitan Pasca Debitor Dinyatakan Pailit
Selain itu , SEMA 3/2023 justru juga dapat menimbulkan problem baru. Perbedaan tafsir antara norma undang-undang dan arahan Mahkamah Agung bisa membuat praktik pengadilan tidak seragam. Sebagian hakim mungkin tetap berpegang pada UUK-PKPU, sementara lainnya mengikuti arahan SEMA. Ketidakselarasan ini berpotensi menciptakan disparitas putusan antar pengadilan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha maupun konsumen. Kreditor akan kesulitan memprediksi bagaimana nasib permohonan pailit atau PKPU yang mereka ajukan, sementara debitor bisa memanfaatkan celah ini untuk menghindari kewajiban pembayaran.
Kesimpulan
Meskipun pada awalnya SEMA Nomor 3 Tahun 2023 dimaksudkan untuk memberikan kejelasan sekaligus perlindungan bagi pengembang apartemen dan rumah susun, penerapannya justru menimbulkan sejumlah persoalan, baik secara normatif maupun praktis. Secara normatif, meskipun SEMA ini lahir untuk melengkapi kebingungan dalam penerapan UUK-PKPU, keberadaannya justru menimbulkan polemik yang berimplikasi pada semakin lemahnya posisi kreditor, terutama konsumen apartemen yang berstatus sebagai kreditor konkuren tanpa jaminan kebendaan, serta memunculkan potensi ketidakpastian hukum akibat disparitas putusan antar pengadilan. Dengan kata lain, meskipun SEMA dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tafsir dalam undang-undang, implementasinya justru menambah beban bagi kreditor dan memberi ruang perlindungan yang lebih besar bagi debitor. Oleh karena itu, pengaturan mengenai kepailitan pengembang seharusnya tidak semata-mata dibatasi oleh pedoman administratif seperti SEMA, melainkan ditegaskan secara lebih komprehensif dalam undang-undang yang lebih menekankan pada prinsip perlindungan hukum yang adil dan seimbang antara kreditor dan debitor.
Saran
Berdasarkan analisis mengenai implikasi SEMA No. 3 Tahun 2023 terhadap status kepailitan pengembangan apartemen, terdapat sejumlah saran yang dapat diajukan untuk memperkuat perlindungan hukum konsumen sekaligus menjaga kepastian hukum dalam praktik pembangunan apartemen sekaligus menjaga kepastian hukum dalam praktik pembangunan apartemen di Indonesia. SEMA ini memamng telah memberikan arah baru dalam menepatkan konsumen pada posisi yang lebih terlindungi, namun efektivitasnya bergantung pada penerapan konsisten serta dukungan regulasi teknis yang lebh rinci. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu diambil oleh lembaga peradilan, pemerintah, pengembang, maupun konsumen itu sendiri.
Pertama, Mahkamah Agung berserta pengadilan niaga perlu menjadikan SEMA No. 3 Tahun 2023 sebagai pedoman yang diterapkan secara konsisten dalam setiap perkara kepailitan pengembang. Konsistensi putusan akan mencegah disparitas yang merugikan konsumen sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan. Di samping itu, kepastian hukum yang tercipta juga akan memberikan sinya positif bagi dunia usaha bahwa sistem hukum Indonesia mampu melindungi semua pihak secara adil, sehingga iklim investasi properti tetap kondusif.
Kedua, pemerintah melalui kementerian terkait perlu menyusun aturan turunan atau pedoman teknis yang memperjelas kedudukan konsumen dalam kasus kepailitan. SEMA hanya bersifat internal bagi lembaga peradilan, sehingga diperlukan regulasi yang bersifat mengikat sejak tahap kontraktual, misalnya dengan kewajiban mencantumkan klausul perlindungan konsumen dalam PPJB, mekanisme escrow account untuk menjamin dana pembeli, atau kewajiban asuransi proyek. Dengan adanya aturan teknis ini, SEMA dapat diimplementasikan lebih efektif dan memberikan perlindungan nyata kepada konsumen yang berhadapan dengan pengembang bermasalah.
Ketiga, pengembang dan konsumen juga harus berperan aktif dalam menciptakan transaksi yang transparan dan berkeadilan. Pengembang sebaiknya meningkatkan keterbukaan informasi mengenai kondisi keuangan, progres pembangunan, serta jaminan penyelesaian proyek, sehingga konsumen tidak terjebak dalam ketidakpastian hukum ketika terjadi masalah kepailitan. Sementara itu, konsumen perlu meningkatkan literasi hukum, khususnya dalam memahami isi PPJB, menuntut adanya klausul perlindungan yang memadai, serta melibatkan lembaga penjaminan sebelum melakukan pembayaran penuh. Dengan adanya sinergi antara regulasi yang jelas, transparansi pengembang, dan kesadaran konsumen, maka tujuan utama SEMA No. 3 Tahun 2023 untuk memperkuat perlindungan hukum dan menciptakan pasar properti yang sehat dapat tercapai.
- Shera Tanira, “Statistik Pertumbuhan Apartemen di Indonesia, 2025, https://properti1.com/blog/statistik-pertumbuhan-apartemen-di-indonesia/ [diakses pada 28/09/2025]
- Astraland Indonesia,”Keuntungan dan Kekurangan Investasi Apartemen yang Wajib Anda Ketahui”, 2025, https://astralandindonesia.co.id/id/articles/investasi-apartemen/ [diakses pada 28/09/2025]
- Sri Redjeki Slamet dan Fitria Olivia, “Permohonan Kepailitan Atas Developer Apartemen Tidak Memenuhi Persyaratan Fakata Yang Terbukti ecara Sederhana Suatu Kajian Keadilan dan Kepastian Hukum”, Lex Jurnalica Vol.21, No.1, 2024, hlm. 115.
- Ancolaw, “Bagaimana Nasib Konsumen Apartemen Yang Terkena Pailit”, 2025 https://ancolaw.id/bagaimana-nasib-konsumen-apartemen-yang-terkena-pailit/ [diakses pada 28/09/2025].
- Maulana Ridho Al Fasil, Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam Perspektif Akademisi: Kekuatan Hukum, Ketetapan dan Konsistensi, Pengaruh Terhadap Putusan Hukum, Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol.4 No.2, 2023, hlm.237
- Hendra Catur Putra, “Kedudukan SEMA Dalam Sistem Hierarki Perundang-Undangan Di Indonesia”, Jurnal Hukum Ketatanegaraan, Vol.1 No.2, 2023, hlm.143
- Patrick Winson Salim (et al), “Pemenuhan Hak Konsumen dalam Sengketa Perdata Lahan Meikarta”, 3:1 Jurnal Cahaya Mandalika, 2023, hlm. 138.
- Tami Rusli, “Hukum kepailitan di Indonesia”, Bandar Lampung, UBL Press, 2019, hlm.33