HAM sebagai Norma Jus Cogens: Implikasi Teoretis terhadap Kedaulatan Hukum Nasional

Uray Andre Baharudin Uray Andre Baharudin
| 12 Juli 2025


Hak asasi manusia (HAM) telah lama menjadi medan tarik-menarik antara dua poros besar dalam tatanan hukum dunia: kedaulatan negara dan norma universal. Ketika prinsip HAM diangkat ke posisi tertinggi dalam hierarki norma hukum internasional sebagai jus cogens, muncul pertanyaan krusial: sejauh mana kedaulatan hukum nasional dapat bertahan menghadapi tekanan dari norma yang mengikat secara mutlak tersebut?

Dalam diskursus hukum kontemporer, hubungan antara jus cogens dan kedaulatan negara tidak lagi sekadar akademik, melainkan bersifat praktis. Ia menyentuh isu-isu konkret seperti pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM berat, intervensi kemanusiaan, serta keabsahan hukum nasional yang bertentangan dengan prinsip universal tersebut. Artikel ini membahas secara mendalam dimensi teoretis dan konseptual dari relasi tersebut.

Baca juga: Desain Ulang Kewenangan Lembaga Negara dalam Perspektif Checks and Balances

Jus cogens adalah norma imperatif dalam hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak dapat dikesampingkan. Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian (VCLT) menegaskan bahwa perjanjian internasional yang bertentangan dengan norma jus cogens dianggap batal demi hukum. Karakter absolut ini menjadikannya superior bahkan terhadap kesepakatan antarnegara.

Contoh norma jus cogens mencakup larangan genosida, penyiksaan, perbudakan, dan agresi militer. Keberadaannya tidak bergantung pada ratifikasi, karena statusnya melekat sebagai prinsip fundamental yang mengikat secara universal. Antonio Cassese menyebut jus cogens sebagai “the hard core of international law” yang menjelma dari nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar.

Tidak semua hak asasi manusia masuk kategori jus cogens, tetapi sejumlah hak tertentu telah diakui memiliki sifat non-derogable dan imperatif. Ini termasuk hak untuk hidup, larangan penyiksaan, larangan perbudakan, serta hak untuk bebas dari perlakuan tidak manusiawi.

Mahkamah Internasional dalam Barcelona Traction Case (1970) menyatakan bahwa terdapat kewajiban negara terhadap komunitas internasional secara keseluruhan (erga omnes), termasuk dalam hal penghormatan terhadap HAM dasar. Dengan demikian, hak-hak tersebut bukan lagi semata-mata urusan domestik, melainkan berada dalam wilayah kepentingan internasional.

Martti Koskenniemi berargumen bahwa ketika HAM menjadi bagian dari jus cogens, negara tidak lagi memiliki ruang diskresi penuh atas urusan dalam negerinya. Ada dimensi moral dan hukum yang menjadikan HAM sebagai semacam “batas luar” dari kedaulatan itu sendiri.

Secara historis, kedaulatan adalah prinsip utama dalam sistem hukum nasional. Ia memberikan negara otoritas eksklusif untuk mengatur urusan internalnya, termasuk legislasi, penegakan hukum, dan pengaturan hak warganya. Dalam pendekatan klasik ala Westphalia, kedaulatan bersifat absolut dan tidak boleh diganggu oleh entitas luar.

Namun, sejak pertengahan abad ke-20, prinsip ini mengalami penyesuaian. Konsep kedaulatan kini dikaitkan dengan tanggung jawab, bukan sekadar kekuasaan. Negara dipandang bukan hanya sebagai entitas yang berdaulat, tetapi juga sebagai pelaku hukum yang tunduk pada standar internasional tertentu, terutama dalam hal HAM.

Ketika HAM ditempatkan dalam kerangka jus cogens, maka secara teoritis terdapat dua implikasi penting terhadap kedaulatan hukum nasional.

Pertama, norma nasional yang bertentangan dengan jus cogens tidak memiliki legitimasi hukum internasional. Dengan kata lain, ada supremasi norma internasional yang dapat membatalkan produk hukum nasional, bahkan tanpa memerlukan ratifikasi perjanjian.

Kedua, prinsip non-intervention mengalami redefinisi. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, intervensi kemanusiaan bahkan dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab global. Doktrin Responsibility toProtect (R2P) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 2005 menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari kejahatan berat, dan jika gagal, tanggung jawab itu dapat dialihkan ke komunitas internasional.

Selain itu, doktrin universal jurisdiction memperluas yurisdiksi hukum pidana internasional. Pengadilan nasional dari negara ketiga dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, terlepas dari lokasi kejahatan atau kewarganegaraan pelaku.

Indonesia tidak berada di ruang hampa dalam diskursus ini. Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat seperti Timor Timur, Tragedi 1965, dan Paniai, prinsip jus cogens secara tidak langsung menguji batas-batas kedaulatan hukum nasional. Kendala impunitas, minimnya penyelesaian yudisial, dan ketidaksesuaian hukum nasional dengan standar HAM internasional mencerminkan adanya ketegangan antara prinsip universal dan pendekatan legalistik domestik.

Di sisi lain, upaya harmonisasi terus dilakukan. Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pembentukan Komnas HAM merupakan bagian dari pengakuan bahwa HAM tidak lagi bisa dipinggirkan dalam perumusan hukum nasional. Namun, penerapannya sering masih bergantung pada kepentingan politik jangka pendek dan belum sepenuhnya sejalan dengan semangat jus cogens.

HAM sebagai norma jus cogens menawarkan lensa baru dalam melihat relasi antara hukum nasional dan hukum internasional. Ia mendobrak sekat-sekat tradisional tentang kedaulatan negara dan membawa wacana ke ranah yang lebih reflektif: bahwa hukum tidak hanya bicara tentang kekuasaan, tetapi juga tentang kemanusiaan.

Kedaulatan negara bukan lagi benteng yang tak tertembus, melainkan wilayah hukum yang secara etis dan normatif dituntut untuk selaras dengan prinsip-prinsip universal. Dalam konteks ini, pertanyaannya bukan sekadar apakah negara memiliki kedaulatan, melainkan bagaimana negara menggunakan kedaulatan itu untuk menjamin dan melindungi harkat manusia yang melekat secara kodrati.