Indonesia katanya negara hukum. Itu tertulis tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tapi apa arti semua itu ketika hukum bisa dibengkokkan sesuka hati untuk melayani kepentingan segelintir orang? Negara hukum macam apa yang memperketat syarat kerja bagi rakyat biasa, namun longgar sebebas-bebasnya untuk kursi kekuasaan tertinggi? Lihat saja fakta memuakkan ini: menjadi staf administrasi di perusahaan swasta harus S1, maksimal umur 27 tahun, dan mampu bekerja di bawah tekanan. Tapi kalau mau jadi presiden atau wakil presiden? Cukup lulus SMA. Usia 40 tahun pun bisa dinegosiasi, asal pernah jadi kepala daerah hasil pemilu. Itulah isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara terang-benderang dibentuk demi meloloskan anak penguasa menjadi cawapres dalam Pilpres 2024.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 secara eksplisit mensyaratkan usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun, titik. Tidak ada ruang untuk tafsir tambahan. Tapi Mahkamah Konstitusi, lembaga yang seharusnya menjadi guardian of the constitution, justru membuat norma baru: seseorang yang belum 40 tahun boleh nyapres atau nyawapres asalkan pernah menjabat kepala daerah melalui pemilu. Ini bukan sekadar pelanggaran norma. Ini adalah bentuk nyata pembajakan konstitusi dari dalam. MK yang semestinya menjaga konstitusi justru memperkosa akal sehat publik. Mereka bukan lagi penafsir hukum yang netral, tetapi telah menjadi instrumen kekuasaan dinasti politik.Teori negara hukum ala Friedrich Julius Stahl menegaskan bahwa Rechtsstaat (negara hukum) harus menjamin prinsip kesetaraan di hadapan hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, supremasi hukum, dan peradilan yang independen. Tapi di Indonesia, prinsip itu tinggal jargon basi dalam naskah akademik. Yang berlaku adalah kasta hukum, di mana syarat diberlakukan ketat hanya untuk rakyat biasa, sementara elite politik melenggang tanpa pernah diuji kapabilitasnya.
Baca juga: Jika Ijazah Jokowi Terbukti Palsu: Produk Hukum Tetap Sah?
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Tapi faktanya, tak ada perlakuan yang sama. Pendidikan dijadikan benteng eksklusif untuk menyingkirkan rakyat dari kesempatan kerja yang layak, sementara para politisi bisa jadi pemimpin bangsa tanpa perlu paham administrasi negara, ilmu hukum, atau ekonomi makro. Lebih menyakitkan lagi, dalam sistem demokrasi kita, kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan jutaan orang ditentukan oleh segelintir elite yang bahkan tak pernah diuji secara akademik. Bagaimana mungkin kita mempercayakan anggaran triliunan rupiah kepada orang yang mungkin tak paham beda antara defisit dan surplus? Ironisnya, mereka inilah yang menentukan sistem pendidikan nasional. Kita hidup dalam paradoks.
Dan jangan lupakan satu ironi terbesar: rakyat yang diwajibkan patuh pada hukum yang dibuat oleh orang-orang yang bahkan tidak diwajibkan memahami hukum. Ini bukan negara hukum, ini negara yang mempermainkan hukum. Sudah saatnya publik menggugat standar ganda ini. Jika negara sungguh berkomitmen pada prinsip negara hukum, maka syarat minimal pendidikan bagi calon pejabat publik harus direvisi. Tak cukup sekadar lulus SMA. Karena demokrasi bukan berarti asal dipilih rakyat, tapi juga soal kapabilitas dan integritas. Negara hukum bukan hanya soal adanya undang-undang. Negara hukum adalah soal menegakkan keadilan, bukan hanya bagi yang berkuasa, tapi juga bagi mereka yang hidup di bawah cengkeraman sistem yang tidak masuk akal. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah bukti bahwa Mahkamah Konstitusi kini bukan lagi penjaga konstitusi. Ia telah berubah menjadi pelayan kekuasaan. Putusan tersebut membuka jalan bagi anak presiden, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden, dengan mengubah tafsir hukum demi mempercepat karier politik keluarga istana. Apakah ini sesuai dengan prinsip negara hukum? Jelas tidak. Supremasi hukum dihancurkan karena MK bertindak layaknya legislator bayangan. Kepastian hukum dibubarkan karena norma yang jelas diubah sesuka tafsir. Keadilan dirusak karena keputusan ini hanya menguntungkan satu nama. Dan independensi peradilan hancur ketika Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga paman Gibran, terbukti melanggar etika berat karena tidak mengundurkan diri dari perkara yang menyangkut keluarganya sendiri.
Ini bukan hanya konflik kepentingan. Ini adalah nepotisme yang dilegalisasi oleh lembaga hukum tertinggi. Dan ketika nepotisme disahkan melalui tafsir hukum, maka kita tidak sedang hidup dalam negara hukum kita hidup dalam negara bullshit yang dibalut konstitusi palsu. Lebih parah lagi, putusan ini membuka pintu selebar-lebarnya bagi praktik dinasti politik di tingkat nasional, yang sebelumnya hanya marak di level daerah. Konstitusi yang seharusnya menjadi pagar moral dan hukum dalam demokrasi kini menjadi tangga licin untuk naik ke puncak kekuasaan tanpa melalui jalur meritokrasi. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari semua ini? Rakyat? Tentu tidak. Rakyat justru makin terpinggirkan. Sementara mereka yang duduk di kursi kekuasaan tak perlu pusing soal syarat pendidikan atau usia. Mereka tinggal ubah saja pasal dengan tafsir ajaib, lalu suruh rakyat tunduk dan menerimanya. Sementara itu, jutaan anak muda yang tidak punya paman di Mahkamah Konstitusi ditolak kerja hanya karena lewat satu tahun dari batas usia lamaran.
Putusan ini harus menjadi pelajaran penting: bahwa di negara yang mengaku sebagai negara hukum, tidak ada satu pun lembaga yang boleh merasa di atas hukum termasuk Mahkamah Konstitusi. Jika MK sudah kehilangan integritasnya, maka jalan menuju otoritarianisme legalistik tinggal selangkah lagi. Konstitusi bukan alat untuk menjustifikasi ambisi keluarga penguasa. Ia adalah kontrak sosial antara rakyat dan negara. Ketika ia dikhianati oleh lembaga konstitusional sendiri, maka rakyat punya hak konstitusional untuk menggugatnya, bahkan untuk menolaknya.
