Presiden Menjadi Hakim Tertinggi dalam Penerapan Abolisi dan Amnesti Di Indonesia

Diana Mora Diana Mora, S.H.
| 11 Agustus 2025


Presiden mempunyai kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan bersifat umum dan kekuasaan yang besifat khusus. Kekuasaan yang bersifat umum adalah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara, sedangkan kekuasaan yang bersifat khusus adalah penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan secara konstitusional berada di tangan Presiden pribadi yang memiliki sifat prerogatif, antara lain kekuasaan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

Pelaksanaan kekuasaan presiden yang diberikan konstitusi bersifat prerogatif harus sejalan dengan pembangunan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Equality Before The Law). Sehingga pada akhirnya akan terwujud masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”.

Meski merupakan hak prerogatif, Presiden memberi abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR yang menegaskan bahwa keputusan ini tidak dapat diambil secara sepihak tanpa mekanisme check and balance dari lembaga legislatif, pertimbangan ini sebagai bentuk pengawasan terhadap kekuasaan pemerintahan. Kewenangan ini bukan hanya sekadar atribut kekuasaan, tetapi juga merupakan alat konstitusional untuk menyelesaikan masalah hukum dan politik tertentu.

Dalam pengertian, abolisi merupakan hak prerogatif dan kewenangan konstitusional Presiden untuk menghapuskan seluruh akibat hukum dari putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana. Termasuk melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.

Pada tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula. DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden No. R43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong.

Sedangkan amnesti adalah bentuk pengampunan yang diberikan oleh negara kepada sekelompok individu yang melakukan tindak pidana. Amnesti menghapuskan konsekuensi pidana dari tindakan yang dilakukan, seakan-akan kejadian hukum tersebut tidak pernah terjadi. Amnesti biasanya diberikan kepada pelaku tindak pidana politik sebelum maupun sesudah dilakukan penyidikan, ataupun sebelum maupun sesudah mendapat putusan pengadilan.

Keputusan DPR menyetujui pemberian amnesti kepada 1.116 orang yang telah terpidana, termasuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden No. 42 Pres 072725 tanggal 30 Juli 2025. Amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto adalah amnesti dalam kasus suap dan perintangan penyidikan yang telah dikakukannya.

Dengan amnesti, seluruh akibat hukum pidana yang telah dijatuhkan kepada penerima amnesti dihapuskan. Dengan demikian status hukum mereka dipulihkan sepenuhnya. Dalam kasus pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, maka semua proses hukum terhadap keduanya dihentikan, serta keduanya harus dilepaskan atau dibebaskan. Namun proses itu bisa dilakukan setelah Keppres soal abolisi dan amnesti diterbitkan.

Baca juga: Kinerja PPATK: Disrupsi Terhadap Ekonomi Masyarakat

Terkait dengan pelaksanaan abolisi dan amnesti yang dilakukan di Indonesia erat kaitannya dengan prinsip trias politica yang menempatkan lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif sebagai pilar-pilar kekuasaan negara yang saling terintegrasi. Pembagian kekuasaan ini tidak menciptakan pemisahan kekuasaan yang absolut, melainkan membangun sebuah sistem checks and balances yang memastikan setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi.

Hak abolisi dan amnesti sebagai hak prerogatif konstitusional Presiden, adalah pedang bermata dua dalam ranah hukum. Di satu sisi, hak ini merupakan instrumen keadilan yang dapat mengoreksi kekeliruan sistem peradilan. Namun, di sisi lain, tanpa regulasi yang tepat, hak ini berpotensi menjadi celah bagi impunitas.

Dalam konteks negara hukum, urgensi pembentukan Undang-Undang Abolisi dan Amnesti menjadi tak terhindarkan untuk menyediakan parameter yang jelas, objektif, dan berkeadilan. Penyelesaian UU ini akan mencegah penyalahgunaan hak prerogatif Presiden yang bernuansa politis.

Tanpa adanya standar hukum yang tegas, pemberian abolisi dan amnesti dapat disalahartikan sebagai insentif bagi pelaku kejahatan untuk mengulangi perbuatannya. Hal ini sejalan dengan adagium hukum “Veniae facilitas incentivum est delinquendi” yang artinya kemudahan mendapatkan pengampunan adalah dorongan untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu, percepatan pengesahan Undang-Undang Abolisi dan Amnesti adalah keniscayaan untuk memperkuat supremasi hukum dan menegakkan keadilan sejati.

Smart Lawyer