
Pada tahun 2020 lalu, Brand lokal, Erigo , menjadi sorotan karena salah satu desainnya yang ternyata menjiplak karya orang lain. Desain untuk koleksi jaket sukajan terbaru itu, sama dengan karya seniman Polandia, Nora Potwora. Isu tersebut ramai diperbincangkan sejak Nora Potwora mengunggah cuitannya di twitter terkait desain terbaru erigo tersebut. Cuitannya tersebut langsung mendapat respon ramai dari khalayak. Erigo akhirnya juga menanggapi Potwora, dan mau bertanggung jawab atas kasus plagiarisme ini. Dalam keterangan resmi yang diunggah Potwora di akun twitternya, ia mengatakan bahwa Erigo telah membayar pembatalan, membatalkan penjualan jaket sukajan yang menggunakan karya Potwora, dan akan mendonasikan produk yang tersisa kepada yang membutuhkan. Di sisi lain, Erigo meminta maaf dan mengaku salah atas kasus plagiarisme ini. Pestanya memastikan kejadian tersebut tidak akan terulang lagi.
Adanya sebuah publikasi desain tidak lepas dari kreativitas diri manusia dalam memilih jenis tipografi atau padanan kata dan juga tata letak yang membuat karya tersebut mempunyai sebuah estetika dan menarik perhatian banyak orang, hal ini juga dapat menjadi sebuah ciri khas dari sebuah kelompok, organisasi, maupun individu. Pemilihan komposisi dalam sebuah desain juga sangat menentukan kualitas dari desain produk itu sendiri, artinya dalam membuat sebuah desain grafis utamanya. Dewasa ini, media sosial sebagai tempat transaksi utama mulai informasi hingga jual beli memberikan tempat khusus bagi individu maupun organisasi yang hendak mempromosikan produk yang mereka miliki agar lebih menarik minat banyak orang tentu perlu diberikan sebuah perlindungan juga terhadap hasil kreativitas yang mereka telah ciptakan agar tidak terjadi penyamaan dengan maksud untuk membawa branding yang sama dengan tambahan tipografi yang hampir sejenis dengan karya yang digunakan sebagai acuan, hal ini biasa disebut pula sebagai Plagiarisme.
Secara sederhana plagiarisme diartikan sebagai perbuatan bagi individu maupun kelompok dengan melakukan salinan karya milik orang lain untuk kemudian diakuisisi menjadi milik kelompok tersebut, hal ini bertentangan dengan Hak Kekayaan Intelektual terhadap pemilik asli karya yang disalin tersebut. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada dasarnya ialah aspek inheren yang esensial dalam menentukan kualitas suatu karya/produk, termasuk khususnya karya seni. HAKI berlaku secara global. Tidak ada satupun produk dalam konteks bisnis secara khusus, yang tidak ada kaitannya dengan HAKI. Sedangkan, Desain Grafis adalah salah satu bentuk komunikasi visual yang didalamnya terdapat simbol-simbol atau gambar yang secara visual dapat menyampaikan pesan yang hendak disampaikan oleh si pemilik, oleh karenanya penentuan tata letak hingga komposisi dari desain grafis yang efektif sangatlah diutamakan.
Baca juga [Agustus: Merebut Kedaulatan Secara Konstitusional]
Dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 27, ditekankan bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam kegiatan kebudayaan masyarakat tanpa batasan, untuk menghargai kemajuan seni dan ilmu pengetahuan, dan sekaligus mengambil keuntungan darinya”. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai Hak Eksklusif yang diberikan secara otomatis berdasarkan prinsip Deklaratif, setelah wujud nyata karya dikeluarkan tanpa mengurangi pembatasan dalam perundang-undangan. Berbeda dengan Hak Kekayaan Intelektual yang lain, hak cipta diterapkan prinsip deklaratif yang melindungi pencipta yang pertama kali mengeluarkan karya dalam wujud nyata sehingga apabila terjadi similaritas dengan tujuan untuk Meniru, Menyalin, bahkan Menciptakan dalam bentuk serupa secara jelas telah melanggar peraturan perundang-undangan.
Deklaratif dalam hak cipta dapat berupa: Pengumuman atau kegiatan yang merupakan bagian dari pengumuman, yaitu pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan, dengan menggunakan media apapun baik elektronik atau nonelektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. Dalam tulisan Ni Kadek, berdasarkan hasil wawancaranya dengan Analis DJKI, Penambahan prinsip deklaratif dilakukan karena melihat jumlah pencipta yang sebagian besar terdiri dari seniman-seniman, dan merupakan bentuk dorongan kreativitas bagi para pencipta untuk terus berkarya, karena prinsip ini memberikan rasa aman bagi pencipta atas hak-haknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Ramadhan, M. W., & Faslah, R. (2025). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Digital Di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum Dan Kebijakan Publik| E-ISSN: 3031-8882, 2(2), 1326-1328.
- RIAN ANGGARA, R. A. (2025). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYA ILUSTRASI DIGITAL (PERSPEKTIF HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL) (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS SULAWESI BARAT).
- Faisal, A. U., & SH, M. (2025). Dinamika dan Perkembangan Hukum Kekayaan Intelektual di Era Digital. Graf Literature.
- Sudirman, L., Guswandi, C. P., & Disemadi, H. S. (2021). Kajian Hukum Keterkaitan Hak Cipta Dengan Penggunaan Desain Grafis Milik Orang Lain Secara Gratis Di Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(3), 207-218.
- Disemadi, H. S., & Romadona, H. G. (2021). Kajian hukum hak pencipta terhadap desain grafis gratis yang dipergunakan kedalam produk penjualan di Indonesia. Jurnal Meta-Yuridis, 4(2).
