
Daftar Isi
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) telah mengalami empat kali amendemen pada periode 1999–2002 yang membawa perubahan besar, seperti penguatan lembaga legislatif, pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan penegasan kedaulatan rakyat. Namun, wacana amendemen konstitusi tetap muncul hingga kini karena dinamika politik, perkembangan demokrasi, dan tantangan global.
Beberapa isu utama yang kerap menjadi sorotan adalah ketidakseimbangan relasi DPR dan DPD dalam sistem bikameral, lemahnya sistem presidensial akibat dominasi legislatif, serta persoalan sistem kepartaian yang menghasilkan koalisi rapuh. Di sisi lain, praktik otonomi daerah memunculkan inefisiensi dan politik dinasti, sementara perubahan Pasal 33 dianggap mendorong liberalisasi ekonomi yang menyimpang dari semangat asli UUD NRI Tahun 1945. Hilangnya GBHN juga dipandang sebagai kelemahan karena arah pembangunan nasional kini hanya bergantung pada visi presiden setiap periode.
Meski demikian, amendemen formal bukanlah jalan yang mudah. Pasal 37 UUD 1945 menetapkan prosedur yang ketat dan menuntut konsensus politik besar di MPR, sehingga sulit dicapai dalam situasi politik yang didominasi koalisi gemuk. Setiap wacana perubahan juga berisiko membuka “kotak pandora” yang meluas ke isu-isu lain, sehingga berpotensi menimbulkan instabilitas hukum dan politik.
Kondisi ini menimbulkan dilema: ada kebutuhan untuk memperbarui konstitusi agar lebih adaptif, tetapi amendemen formal menghadapi hambatan serius. Karena itu, penguatan fungsi undang-undang organik dipandang sebagai alternatif strategis. Undang-undang organik berperan dalam mengontekstualisasikan norma konstitusi dengan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat, menawarkan mekanisme yang lebih fleksibel tanpa harus mengubah UUD NRI Tahun 1945 melalui amendemen formal.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berupaya menjawab bagaimana kelemahan dan keterbatasan mekanisme amendemen formal konstitusi di Indonesia dalam merespons kebutuhan hukum dan politik saat ini. Selanjutnya, artikel ini menelaah mengapa undang-undang organik dapat dipandang sebagai alternatif strategis dalam memperkuat fungsi konstitusi. Di samping itu, pembahasan diarahkan pada tantangan yang mengiringi penguatan undang-undang organik, sekaligus strategi yang diperlukan agar perannya lebih optimal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pembahasan
Kelemahan dan Tantangan Amendemen Formal Konstitusi
Konstitusi merupakan norma hukum tertinggi yang mengatur jaminan hak asasi manusia dan warga negara, susunan ketatanegaraan, serta pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan.1 Sebuah konstitusi bukanlah sesuatu yang bersifat sempurna, statis, atau produk final. Sebaliknya, karena negara bersifat dinamis, konstitusi perlu beradaptasi melalui perubahan, baik secara formal maupun non-formal.
Pengertian amendemen dalam arti teknis dikemukakan oleh Sri Soemantri adalah suatu perubahan konstitusi atau usul dari lembaga perwakilan atau komisi dengan cara menambahkan, menegaskan, atau membedakan kata-kata dari bagian tertentu dari sebuah konstitusi atau undang-undang dasar dengan cara menambahkannya pada naskah terkait.2 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan secara umum bahwa amendemen konstitusi adalah tindakan mengubah konstitusi melalui suatu prosedur dan mekanisme tertentu untuk memperoleh konstitusi yang lebih baik.3
Menurut George Jellinek, perubahan konstitusi dapat ditempuh melalui dua cara: verfassunganderung, yakni perubahan formal berdasarkan prosedur dalam konstitusi, dan verfassungwandlung, yaitu perubahan non-formal melalui mekanisme di luar konstitusi, termasuk kudeta atau perebutan kekuasaan.4 Berkaitan dengan prosedur formal, James Bryce membedakan konstitusi fleksibel yang mudah diubah dengan konstitusi rigid yang sulit diubah. Dalam konteks ini, UUD NRI Tahun 1945 tergolong sebagai konstitusi yang rigid.5
Amendemen konstitusi secara formal merupakan mekanisme penting dalam negara demokratis, sebab memberi ruang bagi konstitusi untuk beradaptasi dengan dinamika sosial, politik, dan hukum. Namun, dalam konteks Indonesia, mekanisme ini justru menghadapi berbagai tantangan. Secara prosedural, amendemen UUD NRI Tahun 1945 mensyaratkan dukungan minimal sepertiga anggota MPR untuk mengajukan usul, quorum dua pertiga anggota, serta persetujuan mayoritas mutlak.6 Prosedur yang ketat ini membuat amendemen sulit ditempuh. Menurut K.C. Wheare, sulitnya perubahan konstitusi dimaksudkan agar perubahan konstitusi benar-benar matang, melibatkan rakyat, menjaga keseimbangan kekuasaan, dan melindungi hak minoritas.7
Selain faktor prosedural, aspek politis juga menjadi hambatan serius. Sebab, sebagaimana diungkapkan Bagir Manan, melakukan amendemen atas UUD NRI Tahun 1945 bukanlah masalah yang mudah sebab sangat tergantung kepada parpol-parpol dan kekuatan politik yang tergabung di MPR.8 Dalam hal ini, penguasa sangat mungkin tergoda untuk mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa kekuasaan mereka, untuk mengamankan posisi mereka, untuk meminggirkan oposisi atau minoritas, atau untuk membatasi hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, penguasa akan resisten apabila merasa suatu agenda perubahan konstitusi dapat merugikan dan mengancam kepentingan mereka.
MPR sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan amendemen UUD NRI Tahun 1945 merupakan lembaga politik yang komposisinya sangat dipengaruhi oleh konfigurasi partai dan koalisi pemerintahan. Dalam situasi hari ini, DPR dan DPD sebagai unsur MPR didominasi oleh partai pendukung pemerintah, menjadikan kekhawatiran tersebut kian nyata. Fenomena fat coalition, di mana hampir semua partai besar tergabung dalam pemerintahan, menyebabkan sulitnya membangun oposisi yang kuat. Akibatnya, agenda amendemen konstitusi sangat memungkinkan untuk tersandera oleh kepentingan elite dan kalkulasi politik praktis.
Baca juga: Implikasi Sema No. 3 Tahun 2023 Terhadap Status Kepailitan Pengembang Apartemen
Empat kali amendemen UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi tonggak reformasi pun nyatanya tidak luput dari kekurangan. Kritik utama yang sering diajukan adalah bahwa proses perubahan tersebut dinilai terlalu elitis dan minim nuansa deliberatif. Meskipun MPR sempat mengadakan sosialisasi serta forum dengar pendapat dengan masyarakat, pelaksanaannya dianggap hanya formalitas belaka karena cenderung mengedepankan partisipasi yang bernuansa tokenism.9 Lemahnya proses deliberatif tersebut membuat hasil perubahan lebih mencerminkan kepentingan elite politik yang kompromis. Akumulasi kompromi inilah yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dalam desain ketatanegaraan Indonesia, sehingga tidak sepenuhnya sejalan dengan teori-teori kenegaraan yang lazim dikenal dan diterapkan di banyak negara modern.10
Lebih jauh, setiap upaya membuka ruang amendemen konstitusi berpotensi menimbulkan efek domino. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa amendemen sering kali tidak berhenti pada isu awal, tetapi meluas ke ranah lain yang kontroversial. Misalnya, wacana amendemen untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa isu tersebut bisa melebar ke arah perubahan sistem presidensial menjadi semi-presidensial. Potensi keterbukaan inilah yang disebut sebagai “kotak pandora” amendemen.11 Dalam kondisi politik yang belum sepenuhnya mapan, risiko instabilitas dan ketidakpastian hukum justru meningkat apabila amendemen dilakukan terlalu sering atau tanpa arah yang jelas.
Dengan demikian, mempertimbangkan kelemahan dan tantangan amendemen formal di Indonesia terletak pada kombinasi faktor prosedural yang rigid, tarik-menarik kepentingan politik, dan potensi instabilitas hukum-politik, diperlukan suatu formulasi agar konstitusi tetap menjadi sebuah dokumen yang “hidup”. Berangkat dari aksioma bahwa dinamika kenegaraan menyebabkan konstitusi harus senantiasa beradaptasi, membuka ruang untuk memikirkan alternatif mekanisme penguatan konstitusi yang lebih adaptif dan pragmatis menjadi kian niscaya.
David A. Strauss, melalui gagasan living constitution, menegaskan bahwa perubahan konstitusi Amerika terjadi bukan melalui amendemen formal, melainkan melalui interpretasi yudisial dan perkembangan preseden yang bersifat gradual sebagaimana hukum common law.12 Dengan cara ini, konstitusi tetap “hidup” dan adaptif terhadap perubahan sosial tanpa kehilangan keterikatan pada tradisi hukum. Dalam hal ini, undang-undang organik dapat didorong untuk menyempurnakan norma konstitusi dengan kebutuhan hukum masyarakat, memungkinkan pembaruan sistem ketatanegaraan tanpa harus membuka “kotak pandora” amendemen formal.
Konsep dan Fungsi Undang-Undang Organik
Karena UUD NRI Tahun 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok saja, maka diperlukan perangkat hukum lain dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara. Perangkat hukum tersebut ialah undang-undang organik, yaitu undang-undang yang dibuat untuk melaksanakan perintah langsung undang-undang dasar. Dalam teori perundang-undangan, undang-undang organik berfungsi sebagai perantara antara norma dasar konstitusi dengan aturan individual, sehingga prinsip-prinsip dasar dalam UUD 1945 tidak berhenti pada tataran yang abstrak. Keberadaan undang-undang organik ini memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah untuk melakukan elaborasi atas norma-norma dalam UUD NRI 1945 yang rigid dan terbatas.
Dalam konteks Indonesia, istilah undang-undang organik memang tidak disebut secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945, tetapi keberadaannya dapat dipahami dari ketentuan yang menyatakan bahwa hal-hal tertentu diatur dengan/dalam undang-undang. Misalnya, Pasal 22E yang melahirkan berbagai undang-undang organik seperti UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Penyelenggara Pemilu. Demikian pula, Pasal 24C yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi dijabarkan melalui UU tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam diskursus akademik, sebagian akademisi berpendapat bahwa UU organik punya kedudukan istimewa karena langsung diperintahkan oleh UUD. Artinya, ia menjadi perpanjangan tangan konstitusi, berbeda dari UU biasa yang lahir semata dari kewenangan legislatif. Pandangan lain menolak keistimewaan itu. Menurut mereka, secara hierarkis, tidak ada diferensiasi antara UU organik dengan UU biasa. UU organik dipandang hanyalah UU yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, bukan jenis hukum baru.
Menghadapi perbedaan pendapat ini, penulis cenderung memaknai kedudukan undang-undang organik cukup istimewa. Hal ini karena secara materiil substansi yang diatur dalam undang-undang organik sejatinya merupakan substansi UUD NRI Tahun 1945.13 Meskipun secara formil tidak terdapat perbedaan yang berarti antara undang-undang organik dan undang-undang biasa.14 Berangkat dari pemaknaan tersebut, dipahami bahwa undang-undang organik bukan sekadar aturan pelaksana, melainkan instrumen vital yang menghidupkan norma konstitusi. Artinya, memperkuat fungsi undang-undang organik sama artinya dengan memperkokoh daya kerja konstitusi itu sendiri.
Penguatan Fungsi Undang-Undang Organik sebagai Alternatif Amendemen Formal
Penting ditekankan bahwa sebelum undang-undang organik dijadikan alternatif atas amendemen konstitusi, terlebih dahulu harus dilakukan penataan substansi agar selaras dengan prinsip-prinsip dasar UUD NRI Tahun 1945. Dengan landasan yang kuat tersebut, penguatan fungsi undang-undang organik dapat dipandang sebagai alternatif strategis untuk mengisi keterbatasan mekanisme amendemen formal. Argumen ini dijelaskan dari perspektif normatif dan praktis.
Pertama, dari sisi normatif, UUD NRI Tahun 1945 secara sadar memberi ruang delegasi kepada undang-undang untuk mengatur lebih lanjut prinsip-prinsip fundamental. Hal ini mencerminkan sifat konstitusi yang fleksibel sekaligus rigid: fleksibel karena tidak semua hal diatur secara rinci, rigid karena perubahan teks konstitusi sulit dilakukan. Dengan demikian, undang-undang organik adalah kanal yang sah dan konstitusional untuk memperkuat isi konstitusi tanpa harus mengubah teks dasarnya.
Kedua, dari sisi praktis, pembentukan undang-undang relatif lebih cepat dan fleksibel dibanding amendemen konstitusi. Proses legislasi melalui DPR dan pemerintah, meskipun juga sarat kepentingan politik, tetap lebih realistis ditempuh dibanding membangun konsensus di MPR untuk amendemen. Selain itu, undang-undang organik dapat lebih mudah diperbarui jika terjadi perkembangan atau kebutuhan baru.
Penguatan fungsi undang-undang organik juga terbukti efektif di negara-negara lain. Di Prancis, lois organiques digunakan untuk mengatur pelaksanaan banyak ketentuan konstitusi, misalnya mengenai fungsi parlemen dan sistem pemilu. Begitu pula di Spanyol, konstitusi 1978 mendelegasikan banyak hal kepada undang-undang organik, yang membutuhkan persetujuan mayoritas absolut di parlemen untuk menjamin stabilitas hukum. Kedua praktik ini menunjukkan bahwa undang-undang organik dapat menjadi instrumen yang relatif stabil sekaligus adaptif.
Dengan memperkuat substansi undang-undang organik, sistem ketatanegaraan dapat diperbarui tanpa harus melalui mekanisme amendemen formal. Hal ini bukan berarti menghapus kemungkinan amendemen konstitusi sama sekali, melainkan menempatkan undang-undang organik sebagai jalur alternatif yang lebih pragmatis dan minim risiko.
Tantangan dan Strategi Penguatan Undang-Undang Organik
Meskipun potensinya besar, penguatan undang-undang organik juga menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, lemahnya political will dari pembentuk undang-undang. DPR dan pemerintah seringkali menjadikan undang-undang organik sebagai alat kompromi politik ketimbang instrumen untuk memperkuat konstitusi. Akibatnya, kualitas legislasi kerap rendah dan inkonsisten.
Bagir Manan berpendapat bahwa salah satu sumber kelemahan UUD 1945 terletak pada undang-undang organik, yang semestinya berfungsi sebagai pelaksana dasar dan asas konstitusi, tetapi dalam praktiknya sering kali tidak sejalan dengan prinsip yang terkandung dalam UUD 1945.15 Kebutuhan memperoleh, memelihara dan mempertahankan kekuasaan atau memfasilitasi berbagai kepentingan hampir selalu dikedepankan. Akibatnya, acap kali suatu undang-undang secara ideal dan substantif bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.16
Kedua, potensi judicial review di Mahkamah Konstitusi menjadi tantangan tersendiri. Undang-undang organik yang tidak sejalan dengan prinsip konstitusionalisme berisiko dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan norma agar tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Hernadi Affandi menyatakan perlu ada pembatasan dalam melakukan pengujian formil dan materiil undang-undang organik. Pandangan ini didasari oleh setidaknya dua alasan penting. Pertama, agar wibawa undang-undang organik sebagai pelaksanaan atas perintah langsung UUD 1945 terjaga. Kedua, materi muatannya yang bersifat konstitusional tidak sering diubah atau diganggu. Dengan kata lain, undang-undang organik harus dibedakan perlakuannya karena alasan pembentukan dan materi muatannya yang berbeda dari undang-undang biasa.17
Ketiga, dominasi politik dalam proses legislasi berpotensi melemahkan fungsi checks and balances. Jika mayoritas parlemen dikuasai koalisi pemerintah, maka undang-undang organik bisa saja lebih menguntungkan eksekutif dibanding memperkuat konstitusi.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, perlu dibangun konsensus politik yang sehat dengan menempatkan kepentingan konstitusional di atas kepentingan partisan. Selain itu, memperkuat peran akademisi dan masyarakat sipil dalam proses legislasi, baik melalui mekanisme partisipasi publik maupun advokasi kebijakan. Terakhir, memastikan konsistensi undang-undang organik dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, sehingga tidak sekadar menjadi instrumen politik, tetapi benar-benar memperkokoh konstitusi.
Penutup
Amendemen formal terhadap UUD NRI Tahun 1945 merupakan mekanisme penting dalam sistem ketatanegaraan, namun dalam praktiknya penuh dengan tantangan prosedural dan politis. Proses yang rigid, syarat kuorum yang tinggi, serta dominasi kepentingan elite membuat amendemen sulit dilaksanakan. Selain itu, setiap upaya membuka ruang perubahan konstitusi berisiko menimbulkan instabilitas hukum-politik akibat terbukanya peluang perubahan di luar agenda awal.
Dalam situasi tersebut, penguatan fungsi undang-undang organik muncul sebagai alternatif strategis. Secara normatif, UUD NRI Tahun 1945 memang mendelegasikan banyak hal kepada undang-undang untuk diatur lebih lanjut, sehingga keberadaan undang-undang organik dapat memperkuat daya kerja konstitusi tanpa harus mengubah teks dasarnya. Secara praktis, proses legislasi melalui DPR dan pemerintah lebih fleksibel dan responsif dibanding mekanisme amendemen konstitusi yang kaku.
Namun demikian, potensi penguatan undang-undang organik tidak terlepas dari tantangan, baik berupa lemahnya political will, risiko judicial review di Mahkamah Konstitusi, maupun dominasi kepentingan koalisi politik. Karena itu, strategi penguatan perlu diarahkan pada pembangunan konsensus politik, partisipasi publik yang luas, serta konsistensi dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.
Dengan demikian, penguatan undang-undang organik dapat menjadi jalan tengah yang efektif untuk memperkuat konstitusi Indonesia, menjaga stabilitas politik, sekaligus menjawab kebutuhan pembaruan hukum dan kelembagaan tanpa harus terjebak dalam kompleksitas amendemen formal.
- Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Alumni, 2006, hlm. 60.
- Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Alumni, 2006, hlm. 268.
- Moh. Sulfikar Suling, “Metode Amendemen Konstitusi: Perbandingan Indonesia dan Latvia, Jurnal Media Hukum, Vol. 9, No. 1, 2021, hlm. 63.
- I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Malang: Setara Press, Edisi Revisi, 2012, hlm. 61-62.
- Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-11, 2013, hlm. 25.
- Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- K.C. Wheare, Modern Constitutions, London: Oxford University Press, 1975, hlm. 83.
- Moh. Mahfud MD., Amendemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 82.
- Untuk pembahasan lebih lanjut, lihat Sherry R. Arnstein, “Ladder of Citizen Participation,” Journal of the American Institute of Planners, Vol. 35, No. 4, 1969, hlm. 217; bandingkan dengan International Association for Public Participation (IAP2), “Evolution of the Public Participation Spectrum”, https://www.iap2.org/page/SpectrumEvolution [diakses 28 September 2025].
- Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015, hlm. 211.
- Abustan, “Road MAP of National Development Through The V Amendment of The 1945 Constitution”, Devotion Journal of Research and Community Service, Vol. 3, No. 13, 2022, hlm. 2183.
- David A. Strauss, “Do We Have a Living Constitution?”, Drake Law Review, Vol. 59, [tanpa nomor], 2011, hlm. 977.
- Hernadi Affandi, Keberadaan Undang-Undang Organik Setelah Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: StarDigital Publishing, Cetakan Pertama, 2025, hlm. 148.
- Hernadi Affandi, Keberadaan Undang-Undang Organik Setelah Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: StarDigital Publishing, Cetakan Pertama, 2025, hlm. 148.
- Selain itu, Bagir Manan juga menyebutkan dua sumber kelemahan lain, yakni: pertama, adanya materi UUD 1945 yang tidak berjalan seiring dengan konsepsi dasar UUD 1945 (misalnya sistem pemerintahan); dan ketiga, kelemahan yang bersumber dari praktik politik, khususnya sistem kepartaian dan pemilu yang mendorong presiden untuk membangun koalisi sejak awal pencalonan sehingga kabinet tersusun berdasarkan perimbangan partai. Lihat Bagir Manan, Membedah UUD 1945, Malang: Universitas Brawijaya Press, Cetakan Pertama, 2012, hlm. 151-152.
- Selain itu, Bagir Manan juga menyebutkan dua sumber kelemahan lain, yakni: pertama, adanya materi UUD 1945 yang tidak berjalan seiring dengan konsepsi dasar UUD 1945 (misalnya sistem pemerintahan); dan ketiga, kelemahan yang bersumber dari praktik politik, khususnya sistem kepartaian dan pemilu yang mendorong presiden untuk membangun koalisi sejak awal pencalonan sehingga kabinet tersusun berdasarkan perimbangan partai. Lihat Bagir Manan, Membedah UUD 1945, Malang: Universitas Brawijaya Press, Cetakan Pertama, 2012, hlm. 151-152.
- Hernadi Affandi, Keberadaan Undang-Undang Organik Setelah Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: StarDigital Publishing, Cetakan Pertama, 2025, hlm. 154.