Menggugat Diamnya Negara: Pelanggaran HAM Masa Lalu dalam Perspektif Hak Konstitusional Warga Negara

Uray Andre Baharudin Uray Andre Baharudin
| 27 Juli 2025


1. Pendahuluan

Negara kita masih menyimpan sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum sepenuhnya dipulihkan melalui proses hukum dan keadilan transisional. Peristiwa kelam seperti Tragedi 1965, penembakan misterius (petrus) era Orde Baru, Tragedi Talangsari 1989, penculikan aktivis prodemokrasi, serta tragedi Trisakti dan Semanggi pada 1998 bukan sekadar narasi sejarah. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bentuk nyata dari pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Diamnya negara atas rentetan pelanggaran tersebut membuka ruang untuk mempertanyakan posisi dan tanggung jawab konstitusional negara terhadap korban serta masyarakat luas.

Alih-alih menunjukkan keberpihakan pada keadilan, sikap diam dan setengah hati negara justru memperpanjang luka kolektif dan menciptakan impunitas yang merusak kepercayaan publik terhadap hukum. Tulisan ini mengkaji secara mendalam bagaimana pelanggaran HAM masa lalu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara dan bagaimana negara telah mengingkari kewajibannya dalam menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.

1.1. Landasan Konstitusional Hak Asasi Manusia

Konstitusi Indonesia, pasca reformasi 1998, menegaskan komitmen terhadap HAM sebagai bagian dari prinsip negara hukum yang demokratis. UUD 1945 hasil amandemen memuat secara eksplisit jaminan hak asasi manusia dalam Pasal 28A hingga 28J. Pasal-pasal tersebut menjamin hak untuk hidup (Pasal 28A), hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat (Pasal 28G), hak memperoleh keadilan melalui peradilan yang objektif dan independen (Pasal 28D), serta hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, dan tidak dihukum secara sewenang-wenang.

Beberapa dari hak tersebut tergolong sebagai non-derogable rights—hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk dalam situasi darurat. Oleh karena itu, keberadaan norma HAM dalam konstitusi bukan sekadar deklaratif, melainkan normatif dan mengikat seluruh lembaga negara.

Sebagaimana ditegaskan oleh Mahfud MD, “Hak-hak konstitusional warga negara itu bersifat fundamental dan negara tidak diberi ruang untuk menundanya tanpa alasan hukum yang sah.” Ketika hak-hak tersebut dilanggar dan negara tidak melakukan tindakan korektif, maka secara hukum negara telah melakukan pelanggaran konstitusional.

1.2. Pelanggaran HAM Masa Lalu sebagai Pelanggaran Hak Konstitusional

Peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu secara langsung melanggar hak konstitusional warga negara. Dalam Tragedi 1965, ribuan orang kehilangan nyawa tanpa proses hukum yang adil. Banyak dari mereka ditahan tanpa dakwaan, mengalami penyiksaan, serta kehilangan hak untuk hidup dan merdeka. Penculikan aktivis prodemokrasi 1997/1998 mencerminkan penghilangan paksa yang secara sistematis melanggar hak atas keamanan pribadi, hak atas keadilan, dan hak keluarga korban untuk mengetahui nasib orang yang mereka cintai.

Tragedi Trisakti dan Semanggi, di mana mahasiswa tewas ditembak saat menyuarakan kritik terhadap pemerintahan transisi, menunjukkan pembiaran kekerasan oleh aparat negara terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan hak untuk hidup. Sampai hari ini, belum ada pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk meskipun telah direkomendasikan Komnas HAM dan didorong oleh DPR. Negara tetap diam, seolah-olah pelanggaran tersebut tidak pernah terjadi.

1.3. Kewajiban Negara dalam Menjamin dan Melindungi Hak Konstitusional

UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Konstitusi menempatkan negara sebagai aktor utama yang memikul positive obligation untuk memastikan seluruh warga negara memperoleh hak-haknya.

Tanggung jawab ini tidak bisa dilaksanakan secara pasif. Negara dituntut untuk aktif, responsif, dan tuntas dalam merespons setiap pelanggaran HAM. Diamnya negara atau penundaan tindakan hanya mempertegas bahwa pelaksanaan konstitusi belum menjadi kesadaran politik. Ketika pengadilan tidak dibentuk, kebenaran tidak diungkap, dan korban dibiarkan tanpa pemulihan, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya.

Ketiadaan tindakan negara terhadap pelanggaran HAM masa lalu melahirkan impunitas—keadaan di mana pelaku kejahatan tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Impunitas bukan hanya melemahkan hukum, tetapi juga menjadi bentuk pengkhianatan terhadap korban dan keluarganya. Ketika pelaku tidak dihukum dan negara tidak menegakkan keadilan, maka trauma sosial terus membekas dan menjadi warisan lintas generasi.

Korban dan penyintas dari tragedi masa lalu sering kali menghadapi stigma, diskriminasi sosial, dan pengucilan. Mereka tidak hanya kehilangan hak-hak sipil, tetapi juga akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan pengakuan negara. Ini adalah bentuk pengabaian hak konstitusional dalam dimensi yang lebih luas.

1.4. Urgensi Penegakan Hak Konstitusional: Rekomendasi dan Refleksi

Penuntasan pelanggaran HAM masa lalu perlu dipahami sebagai jalan memulihkan martabat warga negara sekaligus menguatkan konstitusionalisme. Beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh antara lain:

  • Pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus seperti Tragedi 1965 dan Trisakti-Semanggisebagaimana diamanatkan oleh Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.
  • Pendirian komisi kebenaran dan rekonsiliasi dengan mandat yang kuat dan partisipasi korban yangbermakna.
  • Penyediaan pemulihan hak korban secara komprehensif, mencakup rehabilitasi, restitusi, dankompensasi, bukan sekadar permintaan maaf seremonial.

2. Penutup

Pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya persoalan sejarah, melainkan krisis hukum dan konstitusi yang belum diselesaikan. Diamnya negara bukanlah netralitas, melainkan cerminan dari kegagalan konstitusional yang memperpanjang luka sosial dan mencederai prinsip keadilan. Tulisan ini mengajak semua pihak—terutama penyusun kebijakan, penegak hukum, dan akademisi—untuk menghidupkan kembali panggilan konstitusi: bahwa hak warga negara tidak dapat dinegosiasikan, dan bahwa negara tak bisa terus bersandar pada diam sebagai kebijakan.