
Perkembangan teknologi digital telah melahirkan berbagai bentuk kekerasan baru yang tak tercakup dalam model-model kekerasan konvensional. Salah satunya adalah doxing, yaitu tindakan menyebarkan informasi pribadi seseorang ke ruang publik tanpa persetujuan, sering kali disertai niat untuk mengintimidasi, mempermalukan, atau membahayakan korban. Praktik ini menjadi semakin marak, seiring meningkatnya keterhubungan masyarakat dalam platform digital, dan kerap menyasar individu yang vokal atau kritis, termasuk jurnalis, aktivis, dan akademisi.
Meski praktik ini menimbulkan konsekuensi serius bagi korban, baik secara psikologis maupun sosial, pertanyaannya kemudian: apakah instrumen hukum kita saat ini telah cukup untuk menjerat pelaku doxing secara tegas dan efektif? Tulisan ini mencoba membaca ulang praktik doxing dalam perspektif hukum pidana Indonesia dengan melihat kecukupan dan kekosongan norma yang ada.
Secara terminologis, istilah doxing berasal dari kata “documents” atau “docs” yang dipelintir menjadi “dox”. Ia mengacu pada tindakan mengungkap dan menyebarluaskan data pribadi seseorang, seperti alamat rumah, nomor telepon, identitas keluarga, lokasi kerja, hingga foto pribadi tanpa izin. Praktik ini sering dilakukan dalam konteks balas dendam, persekusi digital, atau upaya membungkam pihak tertentu yang dianggap mengancam kepentingan kelompok tertentu.
Motif utama doxing umumnya tidak lepas dari hasrat untuk mengintimidasi. Doxing tidak berhenti pada sekadar penyebaran informasi, melainkan bertujuan menciptakan rasa takut atau bahkan mengundang kekerasan fisik oleh pihak ketiga. Dalam banyak kasus, korban doxing mengalami pelecehan, teror, kehilangan pekerjaan, hingga tekanan psikis berat.
Hingga kini, belum ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara eksplisit menyebut atau mengatur tentang doxing sebagai tindak pidana tersendiri. Namun, pendekatan yuridis tetap dapat dilakukan dengan menelusuri norma-norma yang relevan dalam beberapa peraturan yang telah ada.
Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan Kedua UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik masih menyimpan sejumlah pasal yang memungkinkan penindakan terhadap pelaku doxing, meski dalam konstruksi pasal yang multitafsir. Misalnya, Pasal 27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik, Pasal 29 mengenai ancaman kekerasan, atau Pasal 36 tentang kerugian terhadap orang lain. Namun, belum ada satu pun pasal yang secara spesifik mengatur soal penyebaran data pribadi sebagai bentuk kekerasan digital.
Kedua, Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberikan pijakan baru dalam upaya melindungi individu dari kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi. Pasal 65 ayat (2) UU PDP menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya dapat dipidana penjara paling lama lima tahun. Meskipun demikian, pengaturan ini masih berada dalam wilayah administratif-privat dan belum sepenuhnya dilandasi pendekatan kriminalistik secara tegas.
Ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), baik dalam versi lama maupun KUHP Nasional yang baru (UU No. 1 Tahun 2023), menyediakan sejumlah pasal yang berpotensi digunakan, seperti Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 310- 311 tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 369 tentang pemerasan atau ancaman. Namun, penafsiran terhadap pasal-pasal ini sering kali tidak cukup fleksibel dalam menangkap kompleksitas kekerasan digital seperti doxing.Ketidakjelasan dalam pengaturan membuat aparat penegak hukum kesulitan mengklasifikasikan doxing sebagai kejahatan. Tanpa nomenklatur khusus, banyak laporan korban berujung pada pengabaian atau dilemahkan dengan alasan “belum memenuhi unsur pidana”. Hal ini membuka ruang impunitas bagi pelaku dan memperburuk posisi korban.
Kekosongan norma ini juga berdampak pada sulitnya pembuktian di ranah hukum. Doxing, sebagai tindakan yang berlangsung di ruang siber dan sering dilakukan secara anonim, menghadirkan tantangan teknis tersendiri. Tanpa kerangka hukum yang tegas, proses penyidikan dan penuntutan berisiko tidak membuahkan hasil maksimal. Dalam praktiknya, korban cenderung mendapatkan beban pembuktian yang berat, sementara pelaku kerap berlindung di balik dalih kebebasan berekspresi atau hak untuk mengakses informasi publik.
Hingga pertengahan 2025, belum banyak yurisprudensi yang secara jelas menjadikan doxing sebagai objek tindak pidana yang berdiri sendiri. Dalam beberapa kasus, aparat hukum menggabungkan unsur doxing ke dalam dakwaan pencemaran nama baik atau ancaman kekerasan. Namun, karena tidak adanya kerangka hukum yang spesifik, pendekatan ini sering kali tidak mampu menjangkau keseluruhan kerugian yang ditimbulkan pada korban.
Seorang pakar hukum pidana siber, Prof. Eddy O.S. Hiariej, pernah menyatakan bahwa: “Hukum pidana selalu tertinggal dari perkembangan kejahatan, sehingga dibutuhkan kejelian dalam menafsir dan menyesuaikan norma agar tidak tertinggal jauh.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa stagnasi regulasi menghadapi kejahatan digital bisa menjadi ruang abu-abu yang berbahaya jika tidak segera ditanggapi secara normatif dan responsif.
Pengakuan eksplisit terhadap doxing sebagai tindak pidana dalam hukum positif Indonesia dapat menjadi langkah strategis dalam menjawab kekosongan hukum. Instrumen seperti UU ITE dan UU PDP perlu direvisi secara komprehensif agar mampu menangkap praktik-praktik kekerasan digital yang berkembang. Pembentukan aturan turunan dari UU PDP, misalnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang mengatur mekanisme pelaporan dan penanganan doxing, dapat menjadi solusi jangka menengah.
Baca juga: HAM sebagai Norma Jus Cogens: Implikasi Teoretis terhadap Kedaulatan Hukum Nasional
Selain itu, penting untuk membangun kesadaran hukum di kalangan penegak hukum dan masyarakat bahwa doxing bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan berbasis digital. Kesadaran ini menjadi krusial dalam mendorong perubahan paradigma hukum pidana dari yang bersifat reaktif menjadi lebih proaktif dan protektif terhadap korban.
Doxing merupakan bentuk kekerasan digital yang dampaknya nyata namun keberadaannya masih samar dalam sistem hukum nasional. Instrumen hukum yang tersedia saat ini belum cukup untuk menjamin perlindungan menyeluruh bagi korban, apalagi dalam konteks yang kompleks seperti ancaman terhadap kebebasan akademik, kritik sosial, dan aktivisme. Mendorong reformasi hukum yang lebih progresif dan responsif menjadi bagian dari kerja panjang menuju sistem hukum yang tidak hanya represif, tetapi juga melindungi martabat dan keamanan warganya di ruang digital.