
PPATK akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik. Dalam kewenangannya, PPATK bekerja dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Tugas utamanya adalah menganalisis laporan dan transaksi keuangan masyarakat. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menjadi topik hangat di kalangan masyarakat karena mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversi. Apabila dalam tiga bulan suatu rekening tidak melaksanakan transaksi apa pun, maka rekening tersebut dinyatakan pasif (dormant). Ketika suatu rekening dinyatakan dormant, maka PPATK berhak membekukan rekening tersebut. Jika rekening tersebut diblokir dan ingin diakses kembali, maka ia membutuhkan waktu kerja 3-5 hari. Hal ini menuai kontroversi yang cukup keras di berbagai kalangan, termasuk masyarakat dan para pakar.
Alasan yang dikemukakan oleh PPATK untuk membekukan rekening masyarakat adalah bertujuan untuk mencegah adanya transaksi keuangan berupa TPPU dan sejenisnya yang melibatkan rekening pasif. Hotman Paris, seorang pengacara kondang Indonesia, memberikan pernyataan keras atas tindakan dari PPATK. Menurutnya, jika suatu rekening pasif, maka itu sangat tidak mungkin disalahgunakan. Hal ini bisa dipikir dengan logika bahwa TPPU membutuhkan rekening yang aktif sehingga uang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Sebuah skakmat yang membuat PPATK harus bermain akal bulus mencari alasan di balik tindakan yang merugikan sebagian masyarakat besar.
Baca juga: Gagasan Keadilan dalam Sila Pancasila: Harapan atau Angan?
Imbas dari adanya tindakan dari PPATK ini, banyak masyarakat yang mengalami kesulitan dalam mengakses rekening. Sejumlah masyarakat besar juga menarik uangnya dari rekening demi mencegah adanya pemblokiran secara sepihak. Pastinya, ini akan sangat berdampak besar pada usaha perbankan yang memerlukan dana dari masyarakat untuk menghimpun dan kemudian mendistribusikannya kembali. Fenomena ini menjadi satu catatan sejarah yang sangat buruk terhadap bidang ekonomi negara. Apakah PPATK mampu memberi pertanggungjawaban atas hancurnya kepercayaan masyarakat? Apakah rakyat akan memberikan landasan lagi untuk pemerintah dalam bertindak? Sayangnya, nasi yang menjadi bubur tidak dapat kembali ke bentuk semula.
Ustaz Das’ad Latif, seorang pendakwah agama asal Makassar menjadi salah satu korban dari adanya tindakan tidak masuk akal dari PPATK. Beliau memberikan sebagian rezekinya dan menampung saluran uang dari masyarakat yang bertujuan membangun rumah ibadah harus menghadapi otak manusiawi. Tabungan untuk membangun masjid harus mengalami pembekuan, padahal beliau sedang bekerja untuk nama Allah Swt. Lantas, adakah manusia yang boleh menghalangi perbuatan amal demi Sang Kuasa? Satu kata untuk PPATK, konyol.
Landasan Hukum PPATK diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja PPATK. Dalam pasal 44 ayat (1) UU TPPU, PPATK hanya berhak untuk menghentikan sementara transaksi yang dianggap adanya tindakan pencucian yang. Dalam pasal tersebut, tidak disebutkan mengenai kewenangan PPATK untuk membekukan rekening para nasabah yang tidak aktif. Ini merupakan pelanggaran yang sangat serius juga menjadi cerminan hancurnya kepercayaan rakyat terhadap kinerja pemerintah yang dalam waktu setahun terakhir terasa begitu buruk.
Mahfud MD, mantan menkopolhukam (menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan), menyatakan bahwa PPATK telah membuat sebuah pelanggaran serius yang dapat menyebabkan hal ini dapat digugat ke pengadilan. Meskipun hingga saat ini PPATK telah membuka rekening yang diblokir, tetap saja ada bekas luka yang tersisa. Tidak mudah diberi kepercayaan dalam menjabat di posisi pemerintahan, tetapi justru semuanya itu dihancurkan secara tidak berbentuk oleh pemangku kekuasaan. Inilah catatan yang sangat fatal, sesuatu yang perlu diperbaiki dalam tatanan kenegaraan Indonesia.




