
Dalam diskursus konstitusionalisme Indonesia, Pancasila acap kali disebut sebagai dasar negara, namun jarang diposisikan secara eksplisit sebagai fondasi etis yang menjiwai penafsiran hak asasi manusia (HAM) dalam kerangka hukum nasional. Salah satu nilai penting dalam Pancasila, yaitu sila kelima – “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menyiratkan bahwa keadilan bukan sekadar cita-cita normatif, melainkan prinsip etis yang menuntut aktualisasi dalam praktik hukum dan kebijakan negara. Mengingat Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari konstitusi, menarik untuk mengkaji bagaimana keadilan sosial dalam Pancasila memberi kerangka etis terhadap pemahaman HAM di Indonesia.
Pancasila, dalam konteks hukum tata negara, tidak hanya menjadi pembuka dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi juga menjadi “roh” yang memberi arah kepada setiap produk hukum dan kebijakan publik. Nilai-nilai dalam Pancasila, termasuk keadilan sosial, menjadi pedoman etik yang membentuk karakter hukum Indonesia yang tidak semata-mata legalistik, tetapi juga humanistik. Hans Kelsen pernah menyebut pentingnya norma dasar (grundnorm) dalam struktur hukum. Dalam kerangka Indonesia, Pancasila dapat dipahami sebagai grundnorm yang membentuk identitas moral konstitusi.
Keadilan sosial dalam sila kelima tidak terbatas pada distribusi ekonomi yang merata, tetapi menyangkut pengakuan identitas, akses terhadap sumber daya, perlindungan kelompok rentan, dan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, nilai ini relevan sebagai batu uji terhadap implementasi HAM di Indonesia, yang kerap dikritik terlalu berorientasi pada model liberal-legalistik.
Hak asasi manusia, dalam kerangka Pancasila, bukanlah konsep yang berdiri sendiri atau dilepaskan dari nilai sosial dan budaya bangsa. Bila HAM di negara-negara liberal diposisikan sebagai hak individual yang lahir dari kontrak sosial, maka dalam kerangka Pancasila, HAM juga mengandung dimensi tanggung jawab sosial dan kolektif. Model ini membuka ruang bagi penafsiran HAM yang lebih kontekstual, relevan, dan berpihak kepada keadilan substantif.
Keadilan sosial menawarkan koreksi atas pendekatan HAM yang hanya menekankan kebebasan sipil dan politik, tanpa menyentuh ketimpangan ekonomi, keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, atau diskriminasi struktural. Dalam konteks ini, HAM bukan hanya soal kebebasan dari represi negara, melainkan juga hak untuk hidup bermartabat, terbebas dari kemiskinan, dan mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Sebagaimana dikemukakan oleh Amartya Sen, kebebasan sejati adalah kebebasan yang memungkinkan individu merealisasikan potensinya, yang tidak bisa dicapai tanpa keadilan sosial sebagai prasyaratnya.
Dalam praktik ketatanegaraan, keadilan sosial dan HAM telah diakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesejahteraan, dan Pasal 34 yang menegaskan peran negara dalam mengurus fakir miskin dan anak terlantar. Namun, masih terdapat kesenjangan antara norma dan kenyataan. Ketimpangan sosial-ekonomi masih menganga, akses keadilan belum merata, dan kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan struktural.
Di sisi lain, logika pasar dan rezim ekonomi neoliberal seringkali mengikis prinsip keadilan sosial. Misalnya, dalam kasus penggusuran paksa atas nama pembangunan, pendekatan hukum seringkali berpihak pada kepentingan investasi ketimbang melindungi hak-hak warga. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan sosial belum sungguh-sungguh menjadi ruh dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
Lebih jauh, tantangan lain datang dari lemahnya pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan hukum, peradilan, dan perumusan regulasi. Interpretasi hukum yang terlalu teknokratis kerap mengabaikan dimensi etis dan sosial dari keadilan. Dalam konteks ini, keadilan sosial perlu dipahami tidak hanya sebagai slogan politik, melainkan sebagai prinsip konstitusional yang operasional.
Baca juga: Menggugat Diamnya Negara: Pelanggaran HAM Masa Lalu dalam Perspektif Hak Konstitusional Warga Negara
Menempatkan Pancasila sebagai fondasi etis konstitusi bukan semata pilihan ideologis, melainkan juga kebutuhan normatif untuk membangun sistem hukum yang berpihak pada martabat manusia. Keadilan sosial sebagai nilai utama dalam Pancasila memberi arah bagi interpretasi HAM yang tidak terjebak pada formalitas, tetapi menyentuh akar-akar ketidakadilan dalam masyarakat.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber etika konstitusional, hukum Indonesia dapat lebih sensitif terhadap konteks sosial dan mampu menjawab tantangan struktural yang dihadapi oleh kelompok rentan. Konstitusi, dalam pengertian ini, tidak lagi sekadar teks normatif, melainkan juga kompas moral dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan bermartabat.
