Hukum Dilihat Dari Mazhab Sejarah

Banyak yang mengatakan bahwa hukum bersifat abstrak, artinya bahwa hukum merupakan suatu hal yang baik definisi maupun pemahaman manuisa tentangnya masih sangat beragam dan belum bisa ditemukan definisi yang pasti tentang hukum itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari muculnya berbagai aliran dalam hukum, berbagai aliran ini melihat hukum dari sudut pandangnya masing-masing dan bahkan diantara aliran-aliran hukum tersebut menimbulkan pertentangan antara aliran yang satu dengan aliran yang lain, misalnya :

  • Aliran hukum alam
  • Aliran Positivisme hukm
  • Aliran Ultilitarianisme
  • Mazhab sejarah
  • Aliran Sociological Jurisprudence
  • Aliran Realisme hukum
  • Aliran hukum islam
  • Dan lain sebaginya..

Pendiri mazhab sejarah adalah Friedrich Carl Von Savigny dan Puchta. Lahirnya mazhab ini dipengaruhi oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’esprit de lois yang terlebih dahulu mengemukakan adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke-19.

Baca juga:
Berikut Pengertian Hukum yang Wajib Anda Ketahui!

Lahirnya mazhab sejarah merupakan reaksi langsung terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi : “Uber Die Notwendig-keit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland (keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi jerman). Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman diperlukan kodifikasi hukum dengan dasar hukum Prancis (code napoleon). Sebagaimana kita ketahui bahwa Ketika Prancis meninggalkan Jerman muncul berbagai masalah hukum , misalnya tentang hukum apa yang akan diterapkan di negara ini. Juga lahirnya mazhab sejarah ini sebagai reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan hukum positif.

Pemikiran Von Savigny

Inti dari pemikiran mazhab sejarah dapar kita ketahui dengan jelas melalui buku Von Savigny yang berjudul “Von Beruf Unserer Zeit Fur Geselzgebung Und Rechtswissenschaft ( tentang tugas zaman kita bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum. Pada prinsipnya merupakan mazhab yang ingin melihat keterkaitan antara hukum dan masyarakat. Dalam arti bahwa aliran ini menolak hukum yang dibuat oleh penguasa dan pemerintah. Dikatakan oleh Von Savigny bahwa “hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat” atau dinamai oleh Puchta “Volgeist”.

Hukum tumbuh dan kuat bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan dari kekuatan rakyat dan pada akhirnya ia akan mati jika bangsa itu hilang kebangsaannya. Lebih jauh Von Savigny mengatakan “Das Recht wird nicht gemacht, ext ist und wird mitdem volke (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).

Kemudian diuraikan lebih dalam oleh Von Savigny bahwa di dunia ini terdapat berbagai bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu Volgeist (jiwa rakyat). Jiwa ini berbeda-beda baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekpresi itu tampak pula pada hukum yang sudah tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum sangat berpengaruh atau bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.

Pemikiran Puchta

Pemikiran Savigny kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta. Menurut Puchta hukum dapat terbentuk:

  • Secara langsung berupa adat istiadat.
  • Melalui undang-undang.
  • Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Puchta membagi pengertian bangsa menjadi dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa dalam arti nasional yang merupakan kesatuan organis yang membentuk sebuah negara. Hukum yang sah dimiliki oleh bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan bangsa alam hanya memiliki hukum sebagai keyakinan. Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat. Pengesahan hukum tersebut dilakukan dengan cara membentuk undang-undang.

Pemikiran Puchta memiliki kesamaan dengan Teori Absolutisme Negara dan Positivisme Yuridis. Puchta berpandangan bahwa pembentukan hukum dalam suatu negara tidak membuka peluang bagi sumber hukum selain kekuasaan negara, seperti hukum adat dan pemikiran ahli hukum. Praktik hukum dalam adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara, demikian pula dengan buah pemikiran para ahli hukum memerlukan pengesahan oleh negara agar dapat berlaku sebagai hukum. Di sisi yang lain, pihak yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa memerlukan bantuan para ahli hukum dan tidak perlu menghiraukan apa yang dipraktikkan sebagai adat istiadat.

Pemikiran Lawrence Friedman

Pemikiran Lawrence Friedman, keberadaan hukum sebaiknya dipahami dalam konteks sistemik. Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem terdiri atas beragam unsur antara lain:

  • Substansi, merupakan nilai, norma, ketentuan atau aturan hukum yang dibuat dan dipergunakan untuk mengatur perilaku manusia.
  • Struktur, berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung teraktualisasinya hukum
  • Kultur, menyangkut nilai-nilai, sikap, pola perilaku para masyarakat dan faktor nonteknis merupakan pengikat sistem hukum tersebut.

Pemikiran Henry Summer Maine

Mazhab sejarah dari Henry Summer Maine ini lahir pada tahun 1822-1888. Sumbangan Henry Summer Maien bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak dalam penerapan metode empiris, sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum. Maine mengatakan masyarakat ada yang statis dan ada yang progresip. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum misalnya melalui Perundang-undangan.

Jadi sebagaimana telah diuraikan diatas tentang hukum dilihat dari mazhab sejarah , Von Savigny dan muridnya Puchta, Lawrence Friedman, Henry Summer Maine mencoba untuk menunjukan bahwa hukum sangattlah memiliki keterikatan dengan masyarakatnya, karena hukum yang ideal adalah hukum yang timbul dari nilai-nilai yang hidup di dalam suatu masyarakat (living law). Yang mana antara hukum dan moral tidak bisa dipisahkan karena hukum dibentuk dari paradigma-paradigma suatu masyarakat tentang apa yang baik dan buruk, yang seharusnya dan yang tidak seharusnya, terlebih paradigma tentang keadilan.

Dengan demikian bila hukum atau aturan perundang-undangan tidak menyatu dengan jiwa rakyat (Volgeist) atau tidak sesuai dengan budaya hukum masyarakat, maka hukum tersebut akan sulit ditegakan. Lebih lanjut Von Savigny mengatakan bahwa di dunia ini terdiri dari berbagai bangsa dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda satu dan yang lain. Oleh karenanya hukum diberbagai negara pastilah berbeda-beda dan tidak mungkin ada hukum yang berlaku universal, karena logikanya budaya saja sudah berbeda maka produk hukum yang dihasilkan pun akan berbeda satu dengan yang lain.

Melandito Marakey
Melandito Marakey

Melandito Marakey adalah mahasiswa fakultas hukum Universitas Kristen Indonesia. Dito aktif menulis artikel terkait isu-isu hukum terkini di Indonesia.

Articles: 3