Gagasan Keadilan dalam Sila Pancasila: Harapan atau Angan?

Rico Fernando, CPM Rico Fernando, CPM
| 9 Agustus 2025


Dalam menyikapi konteks keadilan, tentu hal ini sudah terlebih dahulu diatur dalam Pancasila. Kita dapat melihat sila ke-lima yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Memaknai kata “adil” adalah sebuah hal yang sangat rumit. Tidak ada standar pengukuran yang pasti untuk memberikan suatu penguatan bahwa hal tersebut bisa dinamakan adil. Keadilan yang dituang dalam sila Pancasila sampai dengan saat ini belum mendapatkan realisasi menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah memang sila keadilan sosial merupakan harapan atau angan?

John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah prinsip-prinsip yang disepakati dalam “posisi awal” di mana orang tidak tahu status sosial atau posisi mereka dalam masyarakat (prinsip ketidaktahuan). Dari ini, keadilan dicetus ketika mereka tidak tahu bagaimana status sosial di masyarakat. Keadilan merupakan bentuk implementasi dari pemikiran yang pada masa itu mengondisikan dirinya sebagai subjek dalam kehampaan. Jadinya, tidak ada bentuk nyata dari keadilan itu sendiri sesungguhnya.

Franz Magnis Suseno mendeskripsikan keadilan sebagai perlakuan yang sama antara hak dan kewajiban masing-masing individu. Sebuah pertanyaan muncul dalam dinamika pergerakan hukum, apakah semua orang mendapat perlakuan yang sama di depan hukum? Apakah kata adagium “equality before the law” dapat diinterpretasikan? Semua fakta dari kata-kata itu adalah bagian dari upaya-upaya konkret yang berusaha untuk memberikan ruang pergerakan kosong demi menciptakan gelombang komunikasi sosial dalam rangka meyakinkan dusta kosong.

Dinamika nyata semakin mencuat kala amnesti dan abolisi dijadikan bahan candaan oleh pemerintah. Dua kasus besar yang berujung pada pembebasan narapidana yang memiliki pengaruh besar di lini kekuasaan menjadi catatan yang sangat penting untuk ditulis dalam sejarah. Apakah memang benar bahwasanya kekuatan “spesial” itu dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan yang matang? Apakah dengan demikian pula, tidak ada maksud di belakang pemberian hak itu? Sekarang, pertanyaan kembali meresap dan perlu berefleksi dengan apa yang dimaksud keadilan sosial. Ada banyak sekali pembelaan-pembelaan yang akan muncul jika membahas masalah itu secara komprehensif. Jika berbicara soal kesamaan kedudukan di depan hukum, sebagaimana bunyi pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), maka tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya yang besar.

Baca juga: Keadilan Sosial dan HAM: Menafsirkan Pancasila sebagai Fondasi Etis Konstitusi

Sila keadilan sosial dengan frasa yang disandingkan adalah bagi seluruh rakyat Indonesia. Lantas, pembebasan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukanlah keadilan? Tentunya, keadilan, bukan? Bagi mereka, itu adalah hadiah terbaik yang pernah mereka dapatkan seumur hidup menjadi manusia. Lalu, bagaimana pandangan koneeptual masyarakat? Nyatanya, bahwa keadilan bagi para terpidana tidak menjadi makna adil bagi sebagian orang. Justru, dengan adanya keputusan yang demikian dari Presiden, malahan menimbulkan mosi tidak percaya dari sebagian lapisan masyarakat. Sangat sederhana, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto adalah rakyat Indonesia. Harusnya mereka juga mendapatkan keadilan, seperti ini misalnya (?)

Distorsi kekuasaan dengan hukum seringkali menjadikan produk itu cacat. Rocky Gerung pernah menyatakan bahwa hukum dapat direkayasa untuk melayani kehendak penguasa. Tentu, ini dapat dimaknai sebagaimana produk hukum diciptakan oleh legislatif ditambah eksekutif. Siapa juga yang mau membuat kerugian bagi diri mereka sendiri? Media sosial sudah ada pajak, rekening menganggur dapat disita negara, tanah pun dapat dikuasai kembali oleh negara. Lagi-lagi dilema baru muncul, undang-undang yang merugikan penguasa kapan disahkan?

Keadilan sosial sebagai konsep yang kian digaungkan setiap masa kampanye, entah itu pusat atau daerah tidak mencerminkan adanya perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun. Perjalanan grafik penegakan hukum di era baru ini bukan lagi berorientasi pada utiliarisme sebagaimana teori Jeremy Bentham, melainkan pada kepentingan-kepentingan elit yang bertengger di ujung tampuk negara. Lantas, apakah memang seyogyanya hukum dan keadilan harus dipisahkan secara terang-terangan tanpa unsur yang jelas? Pertanyaan sederhana muncul, sekarang siapa yang bertanggung jawab terhadap nasib masyarakat dengan segala keterbatasan untuk mencapai akses hukum, tetapi mereka dipaksa mengerti apa yang disebut sebagai undang-undang? Perlindungan di balik adagium “presumptionis iures de iure” adalah kelicikan penguasa dalam menciptakan ruang baru dalam menipu dan menghapus masyarakat dari sistem kontrol sosial.

Nyatanya, sila lima Pancasila akan tetap hanya bertahan sebagai bagian dari keutuhan dasar negara. Baik itu harapan atau juga angan, dua-duanya tidak memiliki eksistensi di dunia nyata. Pada akhirnya, keadilan hanya akan bisa ditafsirkan sebagai keadaan yang memuaskan banyak orang di mana hampir seluruhnya merasa adil. Jadi, dasar negara yang selama ini menjadi teman bergeraknya Indonesia, selamanya akan demikian atau akan terjadi perubahan? Janganlah berharap jika tidak ingin terluka. Berharaplah jika ingin melihat secercah cahaya walaupun tidak menyala.