
Kejadian hari ini bukan tanpa alasan, melainkan bermula dari meningkatnya birahi kekuasaan yang diwariskan dari Raja sebelumnya untuk disatukan dengan Raja sekarang. Kebijakan-kebijakan masa lalu yang melukai moralitas bangsa dan mencederai konstitusi seolah diwariskan begitu saja. Hukum diperkosa oleh tangan penguasa melalui politik yang licik, sementara instrumen negara yang seharusnya melindungi rakyat justru diperalat. Program bantuan sosial, yang mestinya jadi jaring pengaman rakyat miskin, dipertontonkan secara kasat mata sebagai alat pemenangan pemilu. Fenomena ini bukan sekadar asumsi; laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat distribusi bansos di tahun 2020–2024 sarat kepentingan politik, dengan penyaluran tidak merata dan rawan penyalahgunaan, apalagi menjelang kontestasi Pilpres 2024.
Kegeraman rakyat akhirnya memuncak. Pemerintahan yang pernah dielu-elukan sebagai macan Asia justru mempertahankan “ternak” warisan penguasa lama di kabinet. Dalam waktu bersamaan, secara diam-diam RUU strategis seperti revisi RUU TNI dibahas bukan di ruang publik DPR, melainkan di hotel dengan dalih efisiensi anggaran. Padahal, argumen defisit APBN lebih banyak lahir dari warisan utang luar negeri yang menumpuk sejak 2014. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, utang pemerintah melonjak dari Rp2.608 triliun pada 2014 menjadi lebih dari Rp8.200 triliun pada akhir 2023. Dengan rasio utang terhadap PDB sekitar 39%, ruang fiskal semakin sempit, sementara rakyat diminta terus berkorban lewat pajak.
Institusi negara yang mestinya berdiri netral pun berubah menjadi alat kekuasaan. POLRI dan TNI, yang dibentuk untuk menjaga kedaulatan dan keamanan rakyat, malah dijadikan tumbal politik. Para perwira tinggi memperoleh posisi dan keuntungan dari kedekatan dengan penguasa, sementara aparat berpangkat rendah sering kali dipaksa berhadapan langsung dengan rakyat dalam konflik agraria, demonstrasi buruh, atau penindakan protes mahasiswa. Ini bukan fenomena baru. Sejak satu dekade terakhir, kasus kekerasan aparat terhadap rakyat terus berulang. Catatan Komnas HAM dan KontraS menyebut sepanjang 2014–2023 terjadi ratusan kasus pelanggaran HAM oleh aparat: dari tragedi penembakan di Papua, penanganan aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law yang brutal, hingga kasus polisi menembak polisi sendiri seperti tragedi Ferdy Sambo yang mengguncang institusi Polri pada 2022.
Birahi untuk mempertahankan tahta menjelma dalam berbagai cara yang menabrak konstitusi. Revisi UU KPK pada 2019 yang melemahkan kewenangan lembaga antirasuah menjadi salah satu simbol kerapuhan demokrasi. Lembaga yang dulu dipercaya publik sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi kini dilemahkan dari dalam, ditandai dengan menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022 menurut Transparency International. Belum lagi pengesahan UU Cipta Kerja dengan mekanisme ugal-ugalan, yang kemudian sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena inkonstitusional bersyarat, tetapi tetap dipaksakan oleh pemerintah dengan dalih investasi.
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur pun dipaksakan meski di tengah keterbatasan APBN dan suara penolakan dari masyarakat adat. Proyek strategis nasional (PSN) kerap jadi dalih untuk merampas ruang hidup rakyat, mulai dari tambang ilegal, pembukaan lahan sawit, hingga pembangunan bendungan yang menggusur desa-desa. Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat lebih dari 1,2 juta hektare hutan hilang dalam periode 2014–2023 akibat proyek infrastruktur dan ekspansi industri ekstraktif. Nepotisme kekuasaan juga tampak nyata ketika Gibran Rakabuming, putra presiden, melenggang sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 setelah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang belakangan terbukti sarat konflik kepentingan.
Sementara itu, defisit APBN tak menghalangi para pejabat menggelar rapat mewah di luar kantor, di hotel berbintang, dengan dalih efisiensi yang ironis. Menteri Keuangan bahkan pernah menyebut pajak sebagai “alat pemalakan yang sah” dalam konteks bercanda, tetapi ucapan itu meninggalkan luka di tengah rakyat yang terhimpit kewajiban membayar pajak di saat harga pangan melonjak. Inflasi bahan pokok 2022–2023 mencapai 5,5%, sementara data BPS menunjukkan masih ada lebih dari 25 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Ironi kian jelas ketika DPR dengan wajah sumringah menari-nari dalam ruang sidang, menaikkan tunjangan rumah, tunjangan beras, dan fasilitas lain, sementara jutaan rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok harian.
Rasa frustrasi publik semakin dalam ketika peringatan hari kemerdekaan dijadikan panggung hiburan. Bukan lagi ajang refleksi perjuangan dan pengingat penderitaan rakyat, melainkan perayaan penuh lagu-lagu pop non-nasionalisme dan joget-joget pejabat. Padahal, sejarah bangsa ini dibangun di atas pengorbanan darah dan air mata, bukan pesta dangdut politik. Bahkan, konvensi ketatanegaraan yang sudah mapan sejak era Orde Baru, yakni pidato presiden setiap 16 Agustus di depan DPR, dilanggar begitu saja dengan memajukan tanggal ke 15. Sekilas tampak sepele, tapi itu mencederai pakem ketatanegaraan yang seharusnya dijaga.
Sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi telah mencetak daya rusak luar biasa: demokrasi merosot, hukum diperdagangkan, utang menumpuk, lingkungan hancur, aparat menjadi algojo rakyat, dan politik dinasti dijadikan warisan. DPR yang seharusnya menjadi penyeimbang, justru menjelma menjadi departemen stempel kebijakan eksekutif. Lembaga itu tak ubahnya panggung dagelan: ketika pemilu mereka mengemis suara rakyat, setelah duduk di kursi empuk, mereka menari di ruang sidang dan menantang bos yang sesungguhnya rakyat yang menggaji mereka.
Di sisi lain, Prabowo Subianto, yang dulu dikenal publik dengan rekam jejak pelanggaran HAM, kini justru disatukan dalam kekuasaan. Alih-alih memberi harapan baru, konfigurasi kekuasaan ini menambah kecemasan publik: bila penguasa lama yang gagal dipelihara, dan penguasa baru yang penuh catatan hitam diberi panggung, apa yang tersisa untuk rakyat?
Ironi makin menohok ketika Jokowi, di tengah kritik dalam negeri yang keras, justru diganjar penghargaan internasional. Media asing menyebutnya sebagai pemimpin yang berhasil mendorong pembangunan infrastruktur. Padahal, rakyat di negeri sendiri melihat infrastruktur itu dibayar dengan harga mahal: utang, penggusuran, perampasan tanah, dan kerusakan lingkungan. Di mata rakyat kecil, Jokowi bukan pahlawan pembangunan, melainkan simbol bagaimana kekuasaan bisa melayani oligarki sambil meminggirkan rakyat.
Pertanyaannya kini sederhana tapi mendasar: untuk siapa negara ini berdiri? Untuk rakyat, atau untuk para penguasa yang mabuk tahta? Rakyat sesungguhnya hanya menuntut hal sederhana: agar konstitusi ditegakkan, agar Pancasila benar-benar jadi dasar, bukan jargon kosong. Agar institusi negara kembali berpihak pada rakyat, bukan pada oligarki. Agar pajak yang dibayar dengan keringat rakyat digunakan untuk kesejahteraan, bukan untuk pesta kuasa. Dan agar peringatan kemerdekaan kembali pada esensi: mengenang perjuangan, bukan sekadar joget dan panggung hiburan.
Baca juga: Menyoal Masa Jabatan DPRD Pasca Pemisahan Pilkada
Bangsa ini hanya butuh keberanian dari penguasa untuk menatap diri di cermin: apakah masih sanggup memimpin dengan amanah, atau sudah saatnya mengakui kegagalan dan mundur dengan terhormat. Karena tidak ada bintang yang lebih tinggi nilainya dibanding penghormatan rakyat. Dan tidak ada penghargaan internasional yang lebih berarti dibanding kesejahteraan rakyat sendiri.
Presiden Joko Widodo, yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin sederhana, kini menjelma jadi patron kekuasaan yang rakus. Birahinya untuk terus memimpin tampak seperti penyakit kejiwaan yang tak kunjung sembuh, atau barangkali strategi untuk menutup kelakar busuk politiknya selama satu dekade terakhir. Bagaimana tidak, ia mendorong anaknya naik ke puncak kekuasaan lewat jalur karpet merah, sekaligus merangkul lawan lamanya, Prabowo Subianto, menciptakan ilusi “matahari kembar” yang mengacaukan arah demokrasi. Satu matahari saja sudah cukup membakar, kini dua matahari membuat republik ini gosong.
Data tak bisa dibohongi. Sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi ditandai utang negara yang melonjak dari sekitar Rp2.600 triliun pada 2014 menjadi lebih dari Rp8.000 triliun di 2024. Defisit lingkungan makin parah, hutan dihabisi atas nama investasi, dan pembangunan infrastruktur kerap hanya jadi monumen mercusuar tanpa perhitungan matang. Ironisnya, DPR ikut menutup mata. Alih-alih menjadi penjaga konstitusi, mereka justru menyetujui revisi UU KPK yang melemahkan lembaga antirasuah, menyetujui UU Cipta Kerja dengan proses legislasi kilat yang cacat formil, hingga mengamini politik dinasti dengan mengutak-atik aturan Mahkamah Konstitusi. Kematian affan dan beberapa warga civil lainnya adalah episode baru dalam perjalanan rezim tirani prabowo, yang tidak bisa memberi ketentraman untuk Republik ini. Sudah saat nya reformasi sistem lembaga eksekutif dan legislatif karenan itu sarang KORUPTOR.
