
Kasus Tindak Pidana Korupsi yang menyeret Mantan Menteri Perdagangan Tahun 2015- 2016 bersinggungan dengan Pasal 2 dalam Permendag 117/2015 menyebutkan adanya pembatasan impor gula. Selain itu, impor gula harus disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada saat itu Indonesia sedang berada dalam kondisi mengalami surplus gula dan Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan rapat koordinasi dengan instansi terkait. Kemudian pada Pasal 4 Permendag 117/2015 dinyatakan bahwa impor GKP hanya dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP. Selain itu terdapat syarat lain bahwa impor GKP hanya bisa dilakukan oleh BUMN. Hal ini sesuai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2), yaitu “Impor Gula Kristal Putih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c hanya dapat dilakukan oleh BUMN pemilik API-U (Angka Pengenal Importir Umum) setelah mendapat Persetujuan Impor dari Menteri.” Alih-alih dipatuhi, Tom Lembong malah menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk pemenuhan stok dengan perusahaan swasta untuk mengolah GKM menjadi GKP.
Kedelapan perusahaan swasta mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP sehingga seolah-olah PT PPI membeli GKP dari perusahaan swasta tersebut. Dari penjualan GKM menjadi GKP tersebut, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan swasta yang mengelola gula sebesar Rp.105,00 per kilogram. Atas perbuatan tersebut negara mengalami kerugian dengan perkiraan mencapai 400 miliar, didasarkan pada akumulasi perhitungan keuntungan delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN (PT PPI).
Secara substansi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya memuat unsur adanya kerugian negara dengan mengambil keuntungan sendiri di sana, tetapi ada unsur “dan/atau orang lain” yang mana meskipun terdakwa Tom Lembong tidak mendapatkan keuntungan, tetapi orang lain yang mendapatkan keuntungan tetap akan dipersalahkan karena sejatinya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Tom Lembong dengan memberikan izin impor gula menyebabkan orang lain mendapatkan keuntungan yang oleh karenanya timbul kerugian negara.
Kemudian, dalam kedua Pasal tersebut ada unsur “Melawan Hukum”. Rosa Agustina menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila memenuhi 4 kriteria. Pertama, bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Hak subjektif ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu hak subjektif perorangan yang terdiri dari kepentingan yang mempunyai nilai tertinggi terhadap yang bersangkutan, pengakuan langsung terhadap kewenangan yang bersangkutan oleh suatu peraturan perundang-undangan, dan suatu posisi pembuktian yang kuat dalam suatu perkara yang mungkin timbul. Sedangkan hak subjektif dalam masyarakat terdiri dari hak kebendaan yang absolut seperti hak milik, hak-hak pribadi seperti hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa dan kehidupan, kebebasan pribadi, kehormatan dan nama baik, dan hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati rumah oleh penyewa rumah. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara sah oleh lembaga yang berwenang dan mempunyai daya ikat keluar. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Yaitu norma-norma sosial dalam masyarakat sepanjang norma tersebut diterima oleh masyarakat dalam bentuk tidak tertulis. Keempat, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk kategori ini antara lain perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
Baca juga: Putusan MK Dibuat untuk Melayani Dinasti
Timbulnya izin impor gula yang diberikan oleh Tom Lembong mengenyampingkan asas kehati-hatian dalam ilmu hukum sehingga dapat dipersalahkan atas perbuatannya tersebut. Kembali lagi, bahwa adanya penggiringan opini yang mengarah kepada penghakiman secara massal kepada peradilan dapat dikategorikan sebagai perbuatan contempt of court sehingga lebih bijaksana demokrasi yang diberikan kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
DAFTAR BACAAN:
- Tempo (2025). Kasus Tom Lembong: 23 Kali Sidang, Tak Ada Niat Jahat, hingga Vonis 4,5 Tahun Penjara https://www.tempo.co/hukum/kasus-tom-lembong-23-kali-sidang-tak-ada-niat-jahat-hingga-vonis-4-5-tahun-penjara-2049204#goog_rewarded). diakses tanggal 25 Juli 2025
- Zaidan, M. A. (2021). Kebijakan Kriminal. Sinar Grafika.
- Ar, A. M., Wirda, W., Rusbandi, A. S., Zulhendra, M., Bahri, S., & Fajri, D. (2024). Peran Niat (Mens rea) dalam Pertanggungjawaban Pidana di Indonesia. Jimmi: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Multidisiplin, 1(3), 240-252.
- Mallarangeng, A. B., & Ali, I. (2023). Pembuktian Unsur Niat Dikaitkan Dengan Unsur Mens Rea Dalam Tindak Pidana Korupsi. Legal Journal of Law, 2(2), 11-24.
- Aji Prasetyo (2025). Divonis 4,5 Tahun Penjara di Kasus Impor Gula, Tom Lembong: Saya Terbukti Tidak Punya Mens Rea. https://www.hukumonline.com/berita/a/divonis-4-5-tahun-penjara-di-kasus-impor-gula–tom-lembong–saya-terbukti-tidak-punya-mens-rea-lt687a4dbbcd428/?page=5. Diakses Tanggal 25 Juli 2025
